Titulo

Bahas Nasib Nelayan Tradisional Lombok Keluhkan Pengeboman Ikan yang Dilindungi Oknum

Ketergantungan yang tinggi negara-negara Asia Tenggara khususnya Indonesia terhadap sumber daya laut menyebabkan nelayan ingin menagkap ikan dalam jumlah banyak melalui cara yang mudah yaitu dengan cara merusak (destructive fishing). Beberapa praktek penangkapan ikan dengan cara merusak antara lain penggunaan pukat harimau (trawl), penggunaan bom (dynamite fishing), dan penggunaan racun potas (cyanide fishing). Penggunaan dynamite dan cyanide fishing selain dapat menghabiskan populasi ikan, juga mengakibatkan kerusakan ekosistem di sekitarnya (terumbu karang) dan membahayakan keselamatan nelayan. Aktivitas destructive fishing ini mengancam 88% terumbu karang di Asia Tenggara.

Kasus bom ikan yang makin marak di Indonesia tepatnya ada di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) tepatnya di kabupaten Lombok. Kabupaten Lombok Timur terdiri dari 19 Kecamatan,  7 Kecamatan mempunyai wilayah laut yang cukup Luas sekitar 10.775 Km²  terbentang dari Kecamatan Jerowaru di wilayah selatan   sampai dengan kecamatan sambalia diwilayah Utara, dengan luasnya wilayah ini memerlukan pengawasan yang cukup untuk menjaga kelestarian biota laut yang ada di wilayah perairan tersebut. Untuk melakukan pengawasan ini tidak cukup hanya dilakukan oleh petugas Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) saja tetapi harus melibatkan semua stage holder yang ada dilapangan, keberadaan stage holder ini sangat membantu dalam menjaga kelestarian sumber daya hayati laut.

Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak ataupun potasium menjadi tanggung jawab kita semua untuk segera di hentikan mengingat wilayah laut kita baik di wilayah selatan maupun wilayah utara mempunyai potensi sumber daya kelautan yang cukup menarik untuk dikembangkan baik untuk sektor pariwisata maupun pengembangan dibidang kelautan misalnya untuk kegiatan budidaya. Bila laut kita rusak maka masa depan anak cucu kita akan suram.

Penangkapan ikan dengan bahan peledak diwilayah perairan Kabupaten Lombok Timur masih sering terjadi,  hampir setiap hari terdengar suara ledakan bom ikan. Sementara tindakan yang dilakukan oleh para stageholder yang ada diwilayah Kecamatan, disamping melakukan patroli rutin juga dengan  melakuan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat akan tetapi masih belum  memperoleh hasil yang maksimal, hal ini dikarenakan keterbatasan kemampuan baik dalam bidang pendanaan maupun kemampuan personil yang ada di lapangan.

Dari kegiatan patroli rutin yang dilakukan bersama dengan para stageholder, penangkapan pelaku pengeboman ikan disertai dengan barang bukti sering dilakukan akan tetapi dalam proses penyidikan,  kasus pelanggaran undang-undang perikanan selalu di kesampingkan karena barang bukti yang tidak lengkap, sedangkan barang bukti berupa ikan sifatnya mudah rusak sehingga penanganan kasus-kasus perikanan selalu mentok di kejaksaan (SP-3), akan tetapi yang sering dimunculkan untuk menjerat pelaku dengan pasal kepemilikan Bahan Peledak bukan pelanggaran undang-undang perikanan dan selalu dituntut dengan pelanggaran  tindak pidana ringan (Tipiring) yang biasanya diancam dengan hukuman penjara maksimal 1 tahun bahkan kurang dan tidak sesuai dengan tingkat kerusakan lingkungan  biota laut yang diakibatkannya. Hal inilah yang membuat pelaku tidak menjadi jera untuk mengulangi perbuatannya.

Para nelayan merasa bahwa ada oknum-oknum yang berusaha menutupi dan melindungi para pelaku bom ikan yang sangat merugikan biota laut dan nelayan sendiri. Untuk memperbaiki Kerusakan lingkungan biota laut memerlukan dana yang besar dan waktu yang cukup lama, misalnya kerusakan terumbu karang untuk bisa tumbuh 5 cm saja  bisa memakan waktu puluhan tahun,  dan dapat menghilangkan mata pencaharian 5 orang nelayan.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.