Titulo

Gula Semakin Pahit

Kebijakan PPN 10 persen bagi petani tebu yang dikeluarkan oleh Menkeu membuat semakin berat beban petani tebu rakyat. Kondisi pergulaan nasional semakin berat, kebutuhan nasional 5-6 juga ton/tahun dengan impor 2,7 juta dan produksi nasional 3,3 juta ton.

Mimpi swasembada gula 2020 akan semakin jauh karena petani kian enggan menanam tebu karena terus merugi, apalagi dikenakan pajak 10 persen. Dari berbagai kunjungan dan pertemuan bersama petani, pabrik gula memiliki keluhan yang sama: gula makin "pahit", swasembada entah kapan, apalagi kesejahteraan petani tebu.

Problem pertebuan nasional sudah parah. Pertama, ambruknya pusat pembibitan tebu nasional membuat varietas bibit unggul tebu sulit didapatkan petani. Bibit yang dipakai petani adalah bibit KW 3 karena memang saat ini pemerintah dan swasta belum mampu menyediakan. Riset sudah semakin jarang.

Kedua, ketersediaan pupuk yang terbatas bagi petani sangat menyulitkan. Pembatasan hanya 2 hektar yang mendapat subsidi pupuk makin menjadikan petani tebu terengah-engah mendapatkan pupuk. Belum lagi pupuk yang kian sulit didapatkan.

Ketiga, pabrik gula sudah tidak kompetitif. Rencana penutupan 23 pabrik dari 45 membuat resah 1,7 pegawainya. Selain itu, umur pabrik gula sudah mendekati satu abad. Sudah infesiensi dari sisi produksi sehingga banyak yang ditutup, dan ada yang di-merger, sedangkan revitalisasi 28 pabrik masih tahap rencana.

Belum selesai pemerintah melakukan revitalisasi pabrik gula dan pembebanan sisi on farm sampai off farm, tiba-tiba menteri keuangan mengeluarkan kebijakan pajak 10 persen bagi gula petani dan pembeli. Belum lagi kuota impor gula yang ditaksir asosiasi mencapai 4 juta ton.

Ketiga problem di atas memberikan gambaran bahwa gula sebenarnya sudah "pahit" dari mulainya. Sebagai gambaran, saat ini rata-rata pendapatan petani tebu dengan luasan 900 meter persegi dalam satu kali panen hanya mendapat uang Rp 2 juga kotor. Bagaimana mau sejahtera kalau kondisi petani tebu seperti ini?

Saat ini produktivitas tanaman tebu petani baru 75 ton per hektar dengan rendemen 7-7,5% dan biaya menghasilkan gula kurang lebih Rp10.000,00 per kilogram. Kondisi ini tidak stabil karena regulasi soal rendemen di level provinsi dan kabupaten serta pabrik gula belum berpihak kepada petani.


Syarat Swasembada

Jika pemerintah menginginkan swasembada gula, sebaiknya petani jangan dikenakan pajak 10 persen. Tak hanya itu, kemungkinan produksi gula anjlok karena petani enggan menanam tebu. Impor gula akan makin menggila.

Sekarang ada 6.073 ton gula rakyat yang masih ngendon di gudang-gudang pabrik gula se-Jateng. Produksi gula tahun 2015 pernah baru terjual Maret 2016. Serbuan gula impor yang merembes ke pasar tradisional membuat harga gula rakyat tercekik.

Kondisi 2017 makin susah karena regulasi yang belum berpihak dan kondisi hulu sampai hilir tak beranjak membaik. Cita-cita swasembada jauh panggang dari api.

Swasembada kemungkinan baru bisa tercapai tahun 2027. Cita-cita 2020 sulit terealisasi dengan kondisi sekarang. Syarat tercapai swasembada adalah yang pertama, revitalisasi pabrik tebu selesai 2019. Sebanyak 28 pabrik baru dengan total investasi yang bisa mencapai Rp 30 triliun harus disinergikan antara pemerintah dan swasta.

Kedua, penyediaan lahan sekitar 1 juta hektar bagi petani tebu. Saat ini, data lahan tebu yang ada sekitar 482.239 hektar dengan rincian lahan tebu rakyat 291.000 hektar atau 60% lahan nasional. Lahan tebu nonrakyat 113.000 hektar atau 23%. Masih butuh lahan 500 ribuan hektar, ini syarat mutlak jika ingin swasembada.

Terakhir, kesejahteraan petani tebu. Impor gula harus dibuat roadmap untuk dikurangi sepuluh tahun ke depan. Gula rakyat harus naik melalui rendemen tebu minimal 8%. Saat ini hanya maksimal 6-7% sehingga masih jauh dari harapan.




(Tulisan ini dimuat di surat kabar Suara Merdeka edisi 28 Juli 2017)


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.