Perhimpunan Petani dan Nelayan Seluruh Indonesia (PPNSI) mempertanyakan langkah Universitas Diponegoro yang memberikan gelar doktor honoris causa untuk Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
Sekretaris Jenderal PPNSI Riyono menyatakan Universitas Diponegoro sepertinya tidak melihat kontroversi berbagai kebijakan yang dikeluarkan Susi selama menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan.
“Banyak kebijakan Susi yang berdampak merugikan bagi nelayan dan industri perikanan,” kata Alumni Undip ini kepada Tempo, Jumat 2 Desember 2016. Riyono menyatakan, sebagai alumni Undip dirinya juga menolak pemberian gelar kehormatan untuk Susi tersebut.
Riyono menyebut beberapa kebijakan Susi yang tidak pro-nelayan, yakni Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2015 tentang larangan menangkap lobster dalam ukuran tertentu bagi nelayan dan harus dilepaskan kembali. Ada juga Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 soal larangan pemakaian pukat hela dan pukat tarik (cantrang).
Riyono menyebut 80 persen nelayan di Jawa Tengah yang beroperasi di luar Jawa menggunakan cantrang. Sementara untuk alih alat tangkap membutuhkan biaya Rp 1 miliar hingga 2 miliar. Para nelayan tidak mampu menggantinya. Menurut Riyono, larangan cantrang ini membuat para nelayan menganggur karena tak bisa melaut.
Kebijakan lain yang merugikan nelayan, kata Riyono, adalah Peraturan Menteri Nomor 57 Tahun 2014 tentang larangan kapal bongkar di tengah laut. “Kebijakan ini membuat biaya melaut lebih mahal karena kapal tak boleh memindahkan hasil tangkapan ke kapal lain,” kata Riyono.
Riyono menyatakan orang yang mendapatkan gelar doktor kehormatan seharusnya yang memiliki peran luar biasa di masyarakat. “Faktanya kebijakan Susi lebih banyak menyusahkan nelayan,” kata dia.
Universitas Diponegoro akan memberikan gelar doktor honoris causa kepada Susi Pudjiastuti di bidang pembangunan kelautan dan perikanan. “Prosesi penganugerahannya akan digelar pada hari Sabtu besok, 3 Desember 2016,” kata Kepala Humas Universitas Diponegoro Semarang, Nuswantor.
Siang ini, rencananya Undip akan menggelar konferensi pers mengenai pemberian gelar doktor kehormatan untuk Susi tersebut.
Sekretaris Jenderal PPNSI Riyono menyatakan Universitas Diponegoro sepertinya tidak melihat kontroversi berbagai kebijakan yang dikeluarkan Susi selama menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan.
“Banyak kebijakan Susi yang berdampak merugikan bagi nelayan dan industri perikanan,” kata Alumni Undip ini kepada Tempo, Jumat 2 Desember 2016. Riyono menyatakan, sebagai alumni Undip dirinya juga menolak pemberian gelar kehormatan untuk Susi tersebut.
Riyono menyebut beberapa kebijakan Susi yang tidak pro-nelayan, yakni Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2015 tentang larangan menangkap lobster dalam ukuran tertentu bagi nelayan dan harus dilepaskan kembali. Ada juga Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 soal larangan pemakaian pukat hela dan pukat tarik (cantrang).
Riyono menyebut 80 persen nelayan di Jawa Tengah yang beroperasi di luar Jawa menggunakan cantrang. Sementara untuk alih alat tangkap membutuhkan biaya Rp 1 miliar hingga 2 miliar. Para nelayan tidak mampu menggantinya. Menurut Riyono, larangan cantrang ini membuat para nelayan menganggur karena tak bisa melaut.
Kebijakan lain yang merugikan nelayan, kata Riyono, adalah Peraturan Menteri Nomor 57 Tahun 2014 tentang larangan kapal bongkar di tengah laut. “Kebijakan ini membuat biaya melaut lebih mahal karena kapal tak boleh memindahkan hasil tangkapan ke kapal lain,” kata Riyono.
Riyono menyatakan orang yang mendapatkan gelar doktor kehormatan seharusnya yang memiliki peran luar biasa di masyarakat. “Faktanya kebijakan Susi lebih banyak menyusahkan nelayan,” kata dia.
Universitas Diponegoro akan memberikan gelar doktor honoris causa kepada Susi Pudjiastuti di bidang pembangunan kelautan dan perikanan. “Prosesi penganugerahannya akan digelar pada hari Sabtu besok, 3 Desember 2016,” kata Kepala Humas Universitas Diponegoro Semarang, Nuswantor.
Siang ini, rencananya Undip akan menggelar konferensi pers mengenai pemberian gelar doktor kehormatan untuk Susi tersebut.
Sumber : m.tempo.co
Tidak ada komentar