Masalah
kian memuncak seiring dengan berbagai kegiatan dan aturan pemerintah yang
dirasa menyulitkan para nelayan. Salah satu persoalan yang dilansir dari
beberapa media adalah nasib ratusan nelayan tradisional di Utara Jakarta
tepatnya di Marunda. Mereka kesulitan mencari ikan akibat reklamasi pantai dan
limbah hingga menyebabkan ikan-ikan mati. Para nelayan harus alih profesi mencari pekerjaan lain
agar bisa bertahan hidup. Mereka, para nelayan juga berharap Gubernur DKI
Jakarta terpilih nantinya memperhatikan nasib nelayan.
Pemandangan
di pesisir pantai Mandura nampak air laut yang sudah tercemar, reklamasi laut
membuat ikan-ikan menjauhi area tangkapan, ditambah dengan pinjaman modal yang
sudah habis. Hal ini berbeda ketika
tahun 1997 lalu, nelayan pernah merasakan kemakmuran. Tangkapan yang dihasilkan
banyak dan bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Namun sejak tahun 2002,
tangkapan terus merosot dan sekarang inilah titik tersulit bagi nelayan, bahkan
untuk makan sehari-hari saja susah.
Para nelayan banyak beralih profesi karena kondisi
yang tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan hidup jika hanya sebagai
nelayan. Banyak para nelayan sekarang yang menjadi
pemulung, tukang ojek atau kuli kasar. Maka hal itu menjadikan deret panjang
angka kemiskinan di Indonesia kian meningkat. Karena hal ini dirasakan hampir seluruh
nelayan di Marunda.
Selain
itu, ada kasus lain yang dialami nelayan di Kota Tegal yang menyebabkan puluhan
ribu nelayan di Kota Tegal terancam menganggur. Hal ini terjadi apabila
Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan menerapkan
Permen Nomor 2 Tahun 2015 yang diterbitkan per 8 Januari 2015. Sebab di
dalamnya aturan tersebut, mengatur tentang larangan penggunaan 17 alat tangkap,
termasuk cantrang.
Padahal
hampir seluruh nelayan menggunakan alat tangkap cantrang. Sehingga adanya
aturan tersebut dinilai tidak berpihak kepada kondisi nelayan. Para nelayan
akan mengadakan aksi mogok melaut jika aturan tersebut diberlakukan tanpa
adanya solusi pengganti cantrang. Hal ini seperti bom waktu yang tidak bisa
dibayangkan lagi bagaimana dampaknya terhadap perekonomian masyarakat, ketika
nelayan dan pekerja perikanan tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup.
Pemerintah
dapat mencari solusi dan antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya persoalan
tersebut. Antara lain, mengundur batas waktu penerapan aturan itu sekitar tiga
atau empat tahun, khususnya terkait pelarangan cantrang dan memberikan
kesempatan pada nelayan untuk beralih menggunakan alat tangkap lainnya. Para
nelayan sangat berharap kepada pemerintah adanya kajian dari lembaga
independen, tentang penggunaan alat tangkap jenis cantrang. Hal itu untuk
memastikan apakah cantrang benar-benar merusak atau tidak. Apabila memang
dinilai berbahaya, perlu disampaikan kepada para nelayan. Dengan demikian,
dapat dilakukan modifikasi agar tidak berdampak negatif bagi lingkungan.
Tidak ada komentar