Beban operasional nelayan diperkirakan bakal membengkak jika pemerintah mencabut subsidi solar untuk kapal ikan ukuran 30 gros ton ke bawah.
Ketua Asosiasi Nelayan Indonesia (ANI) Riyono mengatakan kapal-kapal di bawah 30 GT umumnya digunakan oleh nelayan yang menangkap ikan dalam sehari (one day fishing) dengan jarak melaut kurang dari 12 mil.
Adapun 60% dari biaya perbekalan nelayan di bawah 30 GT dipakai untuk belanja BBM. ANI memberi gambaran, biaya perbekalan nelayan dengan kapal sampai 10 GT sekitar Rp100.000-Rp200.000 per trip. Dengan harga solar subsidi Rp5.150 per liter bagi nelayan di bawah 30 GT dan hasil yang tidak menentu, maka membeli solar nonsubsidi sangat berat bagi mereka.
"Penolakan ANI terhadap usul Menteri KKP ini didasari kondisi nelayan kecil dan tradisional yang masih miskin. Desa di pesisir adalah kantong kemiskinan karena 50% kemiskinan nasional ada di situ," katanya, Selasa (1/8).
Pencabutan subsidi juga akan menambah biaya di tengah keterbatasan akses nelayan untuk mendapatkan BBM. Riyono mengatakan jarak dari pusat perkampungan nelayan ke stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN) biasanya jauh.
Riyono menuturkan masalah kesulitan mendapatkan pasokan BBM yang dihadapi nelayan semestinya diatasi, bukan dengan menciptakan kebijakan baru yang semakin menekan nelayan.
Berdasarkan data PT Pertamina (Persero), konsumsi BBM subsidi nelayan tahun lalu 1,2 juta kiloliter atau 7,4% dari total konsumsi BBM subsidi 2016 sebanyak 16,2 juta kl.
Sementara itu, menurut data KKP, jumlah armada perikanan di bawah 30 GT sebanyak 811.532 kapal. Pada saat yang sama, KKP mengerek target produksi perikanan tangkap tahun ini 7,8 juta ton setelah tahun lalu merealisasikan 6,4 juta ton.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Senin (31/7/2017), menyatakan telah menyampaikan usulan pencabutan subsidi solar bagi kapal ikan di bawah 30 GT kepada Menteri Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius. Pendiri maskapai Susi Air itu pada 2015 mengegolkan penghapusan subsidi untuk pemilik kapal di atas 30 GT. Menurut dia, nelayan lebih membutuhkan ketersediaan BBM ketimbang BBM subsidi.
"Jadi, tolong [subsidi] dicabut, tapi kembalikan solar ada di mana-mana karena dibutuhkan nelayan. Itu permintaan kami. Saya mohon ini bisa ditindaklanjuti. Saya akan bicara dengan Pak Jonan dan ingatkan beliau," katanya di sela-sela penandatanganan kesepakatan bersama dengan Pertamina tentang sistem logistik BBM nelayan.
Selain dibutuhkan nelayan untuk melaut, Susi mengatakan solar vital bagi pengangkutan ikan dari area penangkapan ikan ke sentra-sentra pengolahan. Ketersediaan BBM di pulau-pulau terluar penting agar aktivitas ekspor dapat dilakukan langsung dari lokasi ke negeri tetangga.
Susi menceritakan ikan yang ditangkap di Morotai selama ini dikapalkan hingga delapan jam ke Bitung untuk diproses. Dari Bitung, ikan yang telah diproses itu diangkut ke Makassar untuk selanjutnya diekspor. Idealnya, kata Susi, ikan itu dapat dikirimkan langsung ke Davao di Filipina atau ke Brisbane di Australia dari Morotai.
Pasokan solar juga penting untuk mengangkut ikan dari arena penangkapan ikan di timur ke pusat-pusat konsumsi di Indonesia barat. Apalagi, pemerintah memasang target konsumsi ikan 46 kg per kapita tahun ini, naik dari realisasi tahun lalu 43 kg per kapita. Sayangnya, pembangunan pulau terluar, termasuk unit pengolahan ikan di dalamnya, terkendala kekurangan listrik dan BBM.
Sumber: http://jakarta.bisnis.com/read/20170802/452/677003/subsidi-solar-beban-nelayan-bisa-membengkak
Tidak ada komentar