Oleh Riyono, S.KEL., M.SI
Kelautan sebelum Indonesia lahir menjadi kekuatan raksasa yang berkembang di kawasan ASEAN. Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit membuktikan akan kehebatannya secara ekonomi dan politik dengan mengoptimalkan potensi maritim yang memang menjadi kekuatan paling signifikan dalam membangun kesejahteraan rakyat dan membangun kekuasaan melalui angkatan laut yang kuat. Adanya Sumpah Palapa mahapatih Gajah Mada yang menyatukan nusantara menjadi inspirator wawasan kebangsaan sampai saat ini.
Sejak abad ke-5 jauh sebelum kedatangan orang-orang eropa di perairan nusantara, pelaut-pelaut negeri ini telah menguasai laut internasional dan tampil sebagai penjelajah samudra. Kronik China serta risalah-risalah musafir Arab dan Persia menorehkan catatan agung tentang tradisi besar kelautan nenek moyang bangsa Indonesia, (Dick, 2008). Bukti di atas sebenarnya sudah cukup untuk menjadikan Indonesia sebagai raksasa Asia dengan potensi kelautannya.
Pemimpin negeri ini sejak Soekarno sampai Soeharto ternyata “lupa” dengan kekayaan alam laut yang mempesona, walaupun Soekarno memberikan perhatian serius melalui Deklarasi Juanda 1957 yang telah menjadi perkembangan signifikan dalam pengelolaan wilayah laut dan kemaritiman nampaknya situasi saat itu belum memberikan ruang yang luas untuk sektor perikanan kelautan menjadi tulangpunggung ekonomi negeri ini.
Zaman Soeharto lebih menyedihkan di mana konsentrasi pembangunan menjadi daratan sebagai orientasi utama melalui berbagai kebijakan yang menganaktirikan potensi perikanan kelautan nasional. Soeharto menjadikan kekayaan laut sebagai santapan pemodal dan kapitalis dengan kebijakan Blue revolution dengan beroperasinya alat penangkap Trawl yang mengakibatkan nelayan sengsara, bahkan timbul konflik berkepanjangan. Kasus konflik nelayan Cilacap menjadi bukti laut hanya sebagai the sleeping giant (raksasa yang tidur).
Tahun 2000 Gus Dur memberikan gebrakan serius dalam pengelolaan potensi kelautan dan perikanan dengan mendirikan Departemen Perikanan Kelautan yang sempat terjadi pro kontra tentang fungsi dan urgensinya karena pengelolaan laut sebelumnya hanya ditangani sekelas dirjen yang bersifat sangat teknis di Kementrian Pertanian. Akhirnya sampai sekarang KKP menjadi sangat penting bagi seluruh upaya negeri ini untuk menjadikan kelautan perikanan sebagai motor utama dalam membangun ekonomi nasional.
Bias Kebijakan
Rokhmin Dahuri (2010) menyampaikan bahwa kontribusi sektor kelautan perikanan dengan jumlah nelayan mencapai 2,2 juta orang, luas perairan laut 580 juta ha dan potensi perikanan tangkap 6,5 juta ton per tahun sangat signifikan. Dia memperkirakan penangkapan ikan di dalam negeri baru mencapai 5,1 juta ton per tahun atau 77,8% dari potensi yang ada. Luas perairan umum saat ini mencapai 54 juta ha dengan potensi perikanan 0,9 juta ton. Namun, potensi baru sekitar 0,45 juta ton atau 80%. Perikanan budi daya laut yang mencapai 24 juta ha berpotensi menghasilkan 42 juta ton, tetapi pemanfaatan hanya 8%.
Adapun, perikanan budi daya tambak memiliki potensi 1,2 juta ha dengan produksi 10 juta ton. tetapi baru dimanfaatkan 9,9%. Kondisi di atas lahir secara alami tanpa campur tangan pemerintah secara optimal, keberadaan pemerintah masih sebatas “pencatat” transaksi yang dilakukan oleh pihak swasta dan pengusaha multinasional
.
Menurut Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, MS Hasil kajian PKSPL IPB (2000), Kusumastanto (2003) menggambarkan perbandingan kontribusi PDB, lapangan usaha kelautan dibandingkan lapangan usaha lainnya, pada tahun 1998 adalah pertanian 12,62 %, pertambangan dan penggalian 4,21 %, industri manufaktur 19,92 %, jasa-jasa 41,12 % dan kelautan 20,06 %. Nilai tersebut ternyata masih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara yang memiliki laut lebih sempit dibanding Indonesia, misalnya saja Cina yang hanya memiliki luas laut kurang dari separo Indonesia bidang kelautannya memiliki kontribusi 48,40%, Korea 37% dan Jepang 54%, sehingga Indonesia yang memiliki laut lebih luas mempunyai peluang lebih besar untuk meningkatkan peran ekonomi kelautannya mengingat potensi serta posisi geopolitis Indonesia yang sangat strategis.
Potensi di atas saat ini masih menunggu kebijakan pemerintah yang nampaknya semakin tidak jelas. Adanya impor ikan dan garam yang saat ini menyerbu Indonesia semakin membuktikan bahwa adanya bias kebijakan dalam pengelolaan laut nasional. Bukannya mencari alternatif kebijakan serta terobosan pembangunan, birokrasi kita terjebak dalam pragmatism pembangunan dengan orientasi jangka pendek yang menguntungkan. Sampai saat ini kita belum punya kebijakan yang utuh dalam pengelolaan kelautan, road map pembangunan nasional kelautan kita belum ada. Bagaimana mengoptimalkan potensi dan menambah kontribusi PDB menjadi 30% juga belum jelas bagaimana langkahnya.
Bias kebijakan ini memang “wajar” terjadi karena mainstream pembangunan nasional belum mengarah ke laut, namun masih berorientasi kepad daratan. Buktinya UU Kelautan yang sudah 3 kali ganti presiden sejak Megawati sampai SBY menjabat dua kali juga belum disahkan oleh DPR dan pemerintah. Belum adanya Ocean Policy menjadikan nelayan dan negara menjadi korbannya. Kesejahteraan nelayan tidak bergerak pada level 100 – 1005, kerugian illegal fishing mencapai sekitar 1/2 (setengah) milyar dollar sampai 4 (empat) milyar dollar per tahun akibat pencurian ikan oleh orang asing.
Setidaknya dari fakta minimnya kebijakan dilingkup kelautan bisa disimpulkan dalam dua kerangka makro. Pertama, minimnya legeslasi kelautan perikanan yang dihasilkan oleh pemerintah. Lemahnya legeslasi ini mengakibatkan rendahnya produktivitas kebijakan sehingga peluang kerusakan dan pembajakan potensi laut oleh pihak luar sangat terbuka. Kedua, kecilnya dukungan sector fiscal dengan anggaran yang memadai untuk pembangunan kelautan khususnya untuk optimalisasi potensi perikanan melalui pembangunan industri perikanan nasional yang tangguh. Industri perikanan berjalan dan dikuasi oleh swasta dengan misi utama keuntungan dengan mengabaikan faktor nelayan sebagai pemilik sah laut.
Langkah ke Depan
Pertama, kebijaksaan makro yang lebih memihak pembangunan kelautan perikanan, khususnya nelayan. Langkah ini bisa dilakukan dengan kebijaksanaan moneter dan fiscal. Kebijaksanaan fiskal anggaran untuk usaha kreatif nelayan serta pengembangan industry perikanan harus diprioritaskan. Insentif bagi pelaku usaha perikanan serta usaha kecil nelayan diharapkan bisa mengangkat nilai tambah produk perikanan serta kesejahteraan nelayan. Kebijaksanaan moneter ditempuh melalui penyedian kredit yang mudah bagi nelayan, Jepang dan Australia bisa menjadi contoh negeri kita. Bank didorong untuk menurunkan suku bunga bagi kredit nelayan dan menambah plafon alokasi kreditnya, terbukti kalangan petani dan nelayan memiliki kredit macet yang sedikit dibanding dengan konglomerat.
Kedua, pembuatan road map pembangunan kelautan nasional. Pemerintah harus mengubah orientasi darat menuju orientasi laut. Ocean Policy adalah pilihan tepat bagi perubahan strategi tersebut, karena majunya Thailand, Cina, Philipina dalam produksi perikanan di kawasan Asia didukung oleh kebijakan pembangunan kelautan perikanan yang sudah berorientasi kepada kelautan perikanan. Langkah cepat saat ini adalah pengesahan RUU Kelautan yang sudah terkatung – katung sejak jaman Megawati.
Ketiga, kebijakan perdagangan harus dibuat menguntungkan sektor perikanan dan nelayan. Pajak ekspor ditekan sekecil mungkin agar hasil produk perikanan lebih kompetitif dan menguntungkan nelayan. Pelarangan hasil laut impor menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam melindungi nelayan dan mengelola potensi laut. Imporlah selama ini yang membuat bangsa ini menjadi “sampah” dunia produk impor. Khalil Gibran memberikan ilustrasi menyedihkan bangsa yang makanannya didapat bukan dari hasil menanam sendiri.
Rasanya diskriminasi kelautan akan terus terjadi jika negeri ini “ingkar” dengan nenek moyang mereka yang merupakan cikal bakal negeri ini. Mari kita bertindak sebelum laut kita semakin sempit dan kekayaan laut kita tinggal cerita.
Sejak abad ke-5 jauh sebelum kedatangan orang-orang eropa di perairan nusantara, pelaut-pelaut negeri ini telah menguasai laut internasional dan tampil sebagai penjelajah samudra. Kronik China serta risalah-risalah musafir Arab dan Persia menorehkan catatan agung tentang tradisi besar kelautan nenek moyang bangsa Indonesia, (Dick, 2008). Bukti di atas sebenarnya sudah cukup untuk menjadikan Indonesia sebagai raksasa Asia dengan potensi kelautannya.
Pemimpin negeri ini sejak Soekarno sampai Soeharto ternyata “lupa” dengan kekayaan alam laut yang mempesona, walaupun Soekarno memberikan perhatian serius melalui Deklarasi Juanda 1957 yang telah menjadi perkembangan signifikan dalam pengelolaan wilayah laut dan kemaritiman nampaknya situasi saat itu belum memberikan ruang yang luas untuk sektor perikanan kelautan menjadi tulangpunggung ekonomi negeri ini.
Zaman Soeharto lebih menyedihkan di mana konsentrasi pembangunan menjadi daratan sebagai orientasi utama melalui berbagai kebijakan yang menganaktirikan potensi perikanan kelautan nasional. Soeharto menjadikan kekayaan laut sebagai santapan pemodal dan kapitalis dengan kebijakan Blue revolution dengan beroperasinya alat penangkap Trawl yang mengakibatkan nelayan sengsara, bahkan timbul konflik berkepanjangan. Kasus konflik nelayan Cilacap menjadi bukti laut hanya sebagai the sleeping giant (raksasa yang tidur).
Tahun 2000 Gus Dur memberikan gebrakan serius dalam pengelolaan potensi kelautan dan perikanan dengan mendirikan Departemen Perikanan Kelautan yang sempat terjadi pro kontra tentang fungsi dan urgensinya karena pengelolaan laut sebelumnya hanya ditangani sekelas dirjen yang bersifat sangat teknis di Kementrian Pertanian. Akhirnya sampai sekarang KKP menjadi sangat penting bagi seluruh upaya negeri ini untuk menjadikan kelautan perikanan sebagai motor utama dalam membangun ekonomi nasional.
Bias Kebijakan
Rokhmin Dahuri (2010) menyampaikan bahwa kontribusi sektor kelautan perikanan dengan jumlah nelayan mencapai 2,2 juta orang, luas perairan laut 580 juta ha dan potensi perikanan tangkap 6,5 juta ton per tahun sangat signifikan. Dia memperkirakan penangkapan ikan di dalam negeri baru mencapai 5,1 juta ton per tahun atau 77,8% dari potensi yang ada. Luas perairan umum saat ini mencapai 54 juta ha dengan potensi perikanan 0,9 juta ton. Namun, potensi baru sekitar 0,45 juta ton atau 80%. Perikanan budi daya laut yang mencapai 24 juta ha berpotensi menghasilkan 42 juta ton, tetapi pemanfaatan hanya 8%.
Adapun, perikanan budi daya tambak memiliki potensi 1,2 juta ha dengan produksi 10 juta ton. tetapi baru dimanfaatkan 9,9%. Kondisi di atas lahir secara alami tanpa campur tangan pemerintah secara optimal, keberadaan pemerintah masih sebatas “pencatat” transaksi yang dilakukan oleh pihak swasta dan pengusaha multinasional
.
Menurut Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, MS Hasil kajian PKSPL IPB (2000), Kusumastanto (2003) menggambarkan perbandingan kontribusi PDB, lapangan usaha kelautan dibandingkan lapangan usaha lainnya, pada tahun 1998 adalah pertanian 12,62 %, pertambangan dan penggalian 4,21 %, industri manufaktur 19,92 %, jasa-jasa 41,12 % dan kelautan 20,06 %. Nilai tersebut ternyata masih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara yang memiliki laut lebih sempit dibanding Indonesia, misalnya saja Cina yang hanya memiliki luas laut kurang dari separo Indonesia bidang kelautannya memiliki kontribusi 48,40%, Korea 37% dan Jepang 54%, sehingga Indonesia yang memiliki laut lebih luas mempunyai peluang lebih besar untuk meningkatkan peran ekonomi kelautannya mengingat potensi serta posisi geopolitis Indonesia yang sangat strategis.
Potensi di atas saat ini masih menunggu kebijakan pemerintah yang nampaknya semakin tidak jelas. Adanya impor ikan dan garam yang saat ini menyerbu Indonesia semakin membuktikan bahwa adanya bias kebijakan dalam pengelolaan laut nasional. Bukannya mencari alternatif kebijakan serta terobosan pembangunan, birokrasi kita terjebak dalam pragmatism pembangunan dengan orientasi jangka pendek yang menguntungkan. Sampai saat ini kita belum punya kebijakan yang utuh dalam pengelolaan kelautan, road map pembangunan nasional kelautan kita belum ada. Bagaimana mengoptimalkan potensi dan menambah kontribusi PDB menjadi 30% juga belum jelas bagaimana langkahnya.
Bias kebijakan ini memang “wajar” terjadi karena mainstream pembangunan nasional belum mengarah ke laut, namun masih berorientasi kepad daratan. Buktinya UU Kelautan yang sudah 3 kali ganti presiden sejak Megawati sampai SBY menjabat dua kali juga belum disahkan oleh DPR dan pemerintah. Belum adanya Ocean Policy menjadikan nelayan dan negara menjadi korbannya. Kesejahteraan nelayan tidak bergerak pada level 100 – 1005, kerugian illegal fishing mencapai sekitar 1/2 (setengah) milyar dollar sampai 4 (empat) milyar dollar per tahun akibat pencurian ikan oleh orang asing.
Setidaknya dari fakta minimnya kebijakan dilingkup kelautan bisa disimpulkan dalam dua kerangka makro. Pertama, minimnya legeslasi kelautan perikanan yang dihasilkan oleh pemerintah. Lemahnya legeslasi ini mengakibatkan rendahnya produktivitas kebijakan sehingga peluang kerusakan dan pembajakan potensi laut oleh pihak luar sangat terbuka. Kedua, kecilnya dukungan sector fiscal dengan anggaran yang memadai untuk pembangunan kelautan khususnya untuk optimalisasi potensi perikanan melalui pembangunan industri perikanan nasional yang tangguh. Industri perikanan berjalan dan dikuasi oleh swasta dengan misi utama keuntungan dengan mengabaikan faktor nelayan sebagai pemilik sah laut.
Langkah ke Depan
Pertama, kebijaksaan makro yang lebih memihak pembangunan kelautan perikanan, khususnya nelayan. Langkah ini bisa dilakukan dengan kebijaksanaan moneter dan fiscal. Kebijaksanaan fiskal anggaran untuk usaha kreatif nelayan serta pengembangan industry perikanan harus diprioritaskan. Insentif bagi pelaku usaha perikanan serta usaha kecil nelayan diharapkan bisa mengangkat nilai tambah produk perikanan serta kesejahteraan nelayan. Kebijaksanaan moneter ditempuh melalui penyedian kredit yang mudah bagi nelayan, Jepang dan Australia bisa menjadi contoh negeri kita. Bank didorong untuk menurunkan suku bunga bagi kredit nelayan dan menambah plafon alokasi kreditnya, terbukti kalangan petani dan nelayan memiliki kredit macet yang sedikit dibanding dengan konglomerat.
Kedua, pembuatan road map pembangunan kelautan nasional. Pemerintah harus mengubah orientasi darat menuju orientasi laut. Ocean Policy adalah pilihan tepat bagi perubahan strategi tersebut, karena majunya Thailand, Cina, Philipina dalam produksi perikanan di kawasan Asia didukung oleh kebijakan pembangunan kelautan perikanan yang sudah berorientasi kepada kelautan perikanan. Langkah cepat saat ini adalah pengesahan RUU Kelautan yang sudah terkatung – katung sejak jaman Megawati.
Ketiga, kebijakan perdagangan harus dibuat menguntungkan sektor perikanan dan nelayan. Pajak ekspor ditekan sekecil mungkin agar hasil produk perikanan lebih kompetitif dan menguntungkan nelayan. Pelarangan hasil laut impor menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam melindungi nelayan dan mengelola potensi laut. Imporlah selama ini yang membuat bangsa ini menjadi “sampah” dunia produk impor. Khalil Gibran memberikan ilustrasi menyedihkan bangsa yang makanannya didapat bukan dari hasil menanam sendiri.
Rasanya diskriminasi kelautan akan terus terjadi jika negeri ini “ingkar” dengan nenek moyang mereka yang merupakan cikal bakal negeri ini. Mari kita bertindak sebelum laut kita semakin sempit dan kekayaan laut kita tinggal cerita.
Tidak ada komentar