Melonjaknya harga beras sepekan terakhir ini mencuatkan dugaan adanya
spekulan yang berbisnis curang demi meraup laba besar dalam waktu
singkat.
Meroketnya harga beras hingga 20 persen belakangan ini memang agak tidak lazim. Biasanya, kenaikan harga bahan makanan pokok ini merangkak, kenaikannya Rp100-Rp200 per kilogram, namun kali ini sekali naik bisa menjulang hingga Rp2.000/kg.
Sebagian besar rakyat menjerit. Maklum, nasi merupakan sumber karbohidrat yang nyaris tidak tergantikan bagi warga Indonesia. Lonjakan harga beras ini jelas mengoyak daya beli mereka. Inflasi tinggi pun mengintai.
Jawa Tengah sebagai salah satu provinsi penghasil utama beras nasional juga tidak bisa mengelak dari lonjakan harga beras. Padahal seharusnya harga beras bisa diperoleh lebih murah karena biaya distribusinya lebih rendah.
Lonjakan harga beras saat ini memang mengejutkan orang awam karena pemerintah baru saja dua kali menurunkan harga bahan bakar minyak. Juga tidak ada banjir besar di sentra penghasil padi, seperti di Demak, Kudus, Pati, Sragen, dan daerah lain di Jawa Tengah.
Menghadapi kenaikan drastis tersebut, pemerintah termasuk para gubernur sudah minta kepada Bulog setempat untuk menggelar operasi pasar, agar harga beras turun. Namun, ternyata harga beras hingga sekarang masih bertahan tinggi.
Meski dibayangi terbatasnya stok di pasar, sejauh ini pemerintah melalui Wakil Presiden M Jusuf Kalla menyatakan belum berniat impor beras.
Harga beras di tingkat penyelepan padi (rice mill) untuk mutu rendah Rp8.700, medium Rp9.200, sedangkan untuk kualitas prima atau premium mencapai Rp9.900. Dengan menambahkan biaya transportasi, pengepakan, dan keuntungan, harga beras di tingkat konsumen masing-masing tingkatan mutu antara Rp10.000 hingga Rp12.000/kg.
"Seingat saya sejak dulu harga beras tidak pernah naik langsung sampai Rp2.000 per kilogram. Kenaikan ini sungguh memberatkan kami," kata Kamari, 51, warga Meteseh, Kota Semarang.
Setelah sepekan naik, hingga sekarang tidak ada tanda-tanda harga beras akan turun. Karena itu, lantas muncul tudingan adanya spekulan dan penimbun yang "bermain".
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menduga ada yang bermain di balik meroketnya harga beras. Oleh karena itu, orang nomor satu di Pemprov Jateng ini mengancam melibas para spekulan beras dan pupuk yang menyebabkan kerugian masyarakat dan merusak tatanan.
"Saya tidak peduli. Walaupun para pedagang itu ada bekingnya, tetap akan kita libas," katanya di Solo, Rabu (25/2).
Meroketnya harga beras hingga 20 persen belakangan ini memang agak tidak lazim. Biasanya, kenaikan harga bahan makanan pokok ini merangkak, kenaikannya Rp100-Rp200 per kilogram, namun kali ini sekali naik bisa menjulang hingga Rp2.000/kg.
Sebagian besar rakyat menjerit. Maklum, nasi merupakan sumber karbohidrat yang nyaris tidak tergantikan bagi warga Indonesia. Lonjakan harga beras ini jelas mengoyak daya beli mereka. Inflasi tinggi pun mengintai.
Jawa Tengah sebagai salah satu provinsi penghasil utama beras nasional juga tidak bisa mengelak dari lonjakan harga beras. Padahal seharusnya harga beras bisa diperoleh lebih murah karena biaya distribusinya lebih rendah.
Lonjakan harga beras saat ini memang mengejutkan orang awam karena pemerintah baru saja dua kali menurunkan harga bahan bakar minyak. Juga tidak ada banjir besar di sentra penghasil padi, seperti di Demak, Kudus, Pati, Sragen, dan daerah lain di Jawa Tengah.
Menghadapi kenaikan drastis tersebut, pemerintah termasuk para gubernur sudah minta kepada Bulog setempat untuk menggelar operasi pasar, agar harga beras turun. Namun, ternyata harga beras hingga sekarang masih bertahan tinggi.
Meski dibayangi terbatasnya stok di pasar, sejauh ini pemerintah melalui Wakil Presiden M Jusuf Kalla menyatakan belum berniat impor beras.
Harga beras di tingkat penyelepan padi (rice mill) untuk mutu rendah Rp8.700, medium Rp9.200, sedangkan untuk kualitas prima atau premium mencapai Rp9.900. Dengan menambahkan biaya transportasi, pengepakan, dan keuntungan, harga beras di tingkat konsumen masing-masing tingkatan mutu antara Rp10.000 hingga Rp12.000/kg.
"Seingat saya sejak dulu harga beras tidak pernah naik langsung sampai Rp2.000 per kilogram. Kenaikan ini sungguh memberatkan kami," kata Kamari, 51, warga Meteseh, Kota Semarang.
Setelah sepekan naik, hingga sekarang tidak ada tanda-tanda harga beras akan turun. Karena itu, lantas muncul tudingan adanya spekulan dan penimbun yang "bermain".
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menduga ada yang bermain di balik meroketnya harga beras. Oleh karena itu, orang nomor satu di Pemprov Jateng ini mengancam melibas para spekulan beras dan pupuk yang menyebabkan kerugian masyarakat dan merusak tatanan.
"Saya tidak peduli. Walaupun para pedagang itu ada bekingnya, tetap akan kita libas," katanya di Solo, Rabu (25/2).
Bulog
lebih melihat kenaikan harga beras setinggi itu bukan karena ulah
penimbun. Kepala Bulog Divre Jateng Damin Hartono menyatakan kenaikan
harga beras, terutama jenis premium atau yang bermutu, terjadi karena
stok dari panen tahun lalu sudah mulai habis.
"Kalau waktu tanam
mundur, otomatis jadwal panen juga mundur. Ini mengakibatkan harga beras
naik," katanya. Musim panen seharusnya pada Maret, namun mundur pada
April nanti.
Ketua Perhimpunan Petani Nelayan Seluruh Indonesia (PPNSI), Riyono, tidak yakin kenaikan harga beras saat ini akibat ulah spekulan dan penimbun. Yang pasti, katanya, kenaikan kali ini memberi keuntungan bagi banyak petani karena mereka menerima harga di atas harga pembelian pemerintah (HPP).
"Kenaikan harga bukan disebabkan ada penimbunan karena bisnis beras tidak bersifat monopolistik. Ini beda dengan bisnis gula atau terigu, yang hanya dikuasai beberapa gelintir perusahaan," katanya.
Riyono yang juga anggota DPRD Jawa Tengah di Semarang, Rabu, menjelaskan harga beras bisa setinggi ini disebabkan ketidakpastian regulasi perberasan, terutama menyangkut Inpres Nomor 3/2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah.
Harga gabah di tingkat petani sejak beberapa waktu lalu tidak lagi mengacu HPP, tetapi berdasarkan harga pasar karena HPP tidak lagi mencerminkan kondisi pasar sehingga harga gabah jauh di atas harga patokan pemerintah.
Ia memberi contoh harga gabah kering panen berdasarkan HPP Rp3.300/kg, namun di pasar sudah melesat hingga Rp4.200/kg. Begitu pula harga gabah kering giling, berdasar HPP Rp4.200/kg, namun saat ini meroket Rp4.300 hingga Rp4.700/kg.
Selisih HPP dengan pembelian berdasarkan harga pasar, menurut dia, sudah lebih dari 20 persen sehingga bila harga beras saat ini di pasar naik lebih dari 20 persen adalah wajar.
Oleh karena harga pasar jauh di atas HPP maka Bulog juga tidak berani membeli gabah petani sehingga stok badan penyangga pangan ini tidak bergerak dalam kisaran 1,5 juta ton.
Pemerintah melalui Bulog bisa saja menggelontor pasar dengan stok beras untuk rakyat miskin, tapi jumlahnya tidak lebih dari 300.000 ton. Menurut Riyono, operasi pasar tersebut tidak akan banyak berpengaruh terhadap harga beras kualitas medium dan premium.
Dalam waktu dekat harga beras mutu rendah mungkin turun bila pasar terus "dibanjiri" beras Bulog. Namun, menurut Riyono, harga tidak untuk beras mutu medium dan premium.
Ketua Perhimpunan Petani Nelayan Seluruh Indonesia (PPNSI), Riyono, tidak yakin kenaikan harga beras saat ini akibat ulah spekulan dan penimbun. Yang pasti, katanya, kenaikan kali ini memberi keuntungan bagi banyak petani karena mereka menerima harga di atas harga pembelian pemerintah (HPP).
"Kenaikan harga bukan disebabkan ada penimbunan karena bisnis beras tidak bersifat monopolistik. Ini beda dengan bisnis gula atau terigu, yang hanya dikuasai beberapa gelintir perusahaan," katanya.
Riyono yang juga anggota DPRD Jawa Tengah di Semarang, Rabu, menjelaskan harga beras bisa setinggi ini disebabkan ketidakpastian regulasi perberasan, terutama menyangkut Inpres Nomor 3/2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah.
Harga gabah di tingkat petani sejak beberapa waktu lalu tidak lagi mengacu HPP, tetapi berdasarkan harga pasar karena HPP tidak lagi mencerminkan kondisi pasar sehingga harga gabah jauh di atas harga patokan pemerintah.
Ia memberi contoh harga gabah kering panen berdasarkan HPP Rp3.300/kg, namun di pasar sudah melesat hingga Rp4.200/kg. Begitu pula harga gabah kering giling, berdasar HPP Rp4.200/kg, namun saat ini meroket Rp4.300 hingga Rp4.700/kg.
Selisih HPP dengan pembelian berdasarkan harga pasar, menurut dia, sudah lebih dari 20 persen sehingga bila harga beras saat ini di pasar naik lebih dari 20 persen adalah wajar.
Oleh karena harga pasar jauh di atas HPP maka Bulog juga tidak berani membeli gabah petani sehingga stok badan penyangga pangan ini tidak bergerak dalam kisaran 1,5 juta ton.
Pemerintah melalui Bulog bisa saja menggelontor pasar dengan stok beras untuk rakyat miskin, tapi jumlahnya tidak lebih dari 300.000 ton. Menurut Riyono, operasi pasar tersebut tidak akan banyak berpengaruh terhadap harga beras kualitas medium dan premium.
Dalam waktu dekat harga beras mutu rendah mungkin turun bila pasar terus "dibanjiri" beras Bulog. Namun, menurut Riyono, harga tidak untuk beras mutu medium dan premium.
Sumber : www.antaralampung.com
Tidak ada komentar