Riyono, nama sederhana pemberian pasangan suami istri bapak Jumiran
dan ibu Winarti. Ia lahir pada hari Kamis 8 Juni 1978 di Kota Kecil,
Magetan Jawa Timur. Siapa sangka pria yang masa kecilnya bergelut dengan
sawah dan kebun ini akan menjadi salah satu tokoh yang cukup
diperhitungkan baik di tingkat regional Jawa Tengah maupun tingkat
nasional. Perhatiannya kepada kesejahteraan petani dan nelayan
menjadikannya sebagai Deklarator dan Sekretaris Jenderal Perhimpunan
Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia (PPNSI) tingkat pusat. Baginya
kesejahteraan petani dan nelayan adalah keniscayaan. Tekadnya ini cukup
beralasan karena selain Indonesia dikenal sebagai negara agraris, sumber
Produk Domestik Bruto Nasional 40% berasal dari sektor pertanian.
Selain kecintaannya kepada nelayan dan petani,
Riyono juga dikenal sebagai pria yang religius. Kecintaannya kepada
Islam serta semangat untuk menegakkan kalimat Allah di bumi Indonesia
inilah yang memaksanya untuk turut aktif terjun di dunia dakwah melalui
jalur politik. Ia kini aktif sebagai Ketua Bidang Buruh, Tani dan
Nelayan Dewan Pengurus Wilayah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jawa
Tengah. Selaras dengan minatnya di bidang pertanian dan buruh.
Dari Bercocok Tanam Hingga Pencak Silat
Riyono dilahirkan dari keluarga petani yang serba
terbatas. Hal ini tidak menjadikan Riyono berputus asa. Pria bertubuh
agak gemuk ini bahkan sangat bersyukur jika dilahirkan sebagai keluarga
petani. Dari keluarga yang serba terbatas inilah ia dididik tentang
pentingnya arti kedisiplinan dan kerja keras. Dari ayahnya ia belajar
bahwa untuk mendapatkan hasil yang baik, maka harus diawali dengan usaha
yang keras. Pernah pada tahun 1997 keinginan Riyono untuk masuk
perguruan tinggi hampir ia urungkan karena keterbatasan biaya. Masuk
perguruan tinggi di kala itu—apalagi di wilayah Magetan—masih dianggap
sebagai suatu hal yang prestise. Namun berkat saran dan dorongan dari
ayahnya, Riyono pun berinisiatif membiayai seluruh biaya pendaftaran
kuliahnya dari menanam cabai. Tahap demi tahap pun dia jalani. Mulai
dari mencangkul tanah, menyebar bibit, hingga merawatnya secara berkala.
Dan hasilnya fantastis! Ia berhasil memanen cabai yang ia tanam sendiri
dan hasil dari penjualan cabainya ia gunakan untuk biaya kuliah.
Baginya ini merupakan kepuasan tingkat tinggi dan tidak ada duanya di
muka bumi.
Kebiasaan disiplin dan kerja keras yang ditanamkan
ayahnya sejak dini menjadikan Riyono tumbuh menjadi pribadi yang
berkarakter leader dan enterpreuner. Karakter sebagai leader sudah
terlihat semenjak ia duduk di bangku sekolah. Semasa sekolah, Riyono
senantiasa ditunjuk sebagai pemimpin bagi teman-temannya. Ketika SD dan
SMP misalnya, selama sembilan tahun berturut–turut Riyono dipercaya oleh
teman-temannya menjadi ketua kelas. Bahkan ketika SMA selain menjadi
ketua kelas Riyono juga didaulat untuk memimpin organisasi sekelas OSIS.
Di tengah aktivitasnya menjadi siswa nomor satu di
SMA-nya, tidak menjadikan Riyono malu berjualan jajanan kepada
teman-temannya. Kebiasaan ini ternyata juga ia lanjutkan hingga kuliah.
Mulai dari jualan keliling kelas, menitipkan jualannya ke kantin hingga
menjadi kasir di koperasi sekolah karena dagangannya ia titipkan di
sana. Semuanya dilakukan Riyono tanpa rasa malu. Bahkan menurutnya
karena sering berjualan itulah ia menjadi siswa yang dikenal seluruh
siswa di SMA-nya. Selain berjualan di sekolah, waktu pagi ia sempatkan
untuk berjualan telur keliling kampung. Semua ini ia lakukan untuk
membiayai sekolahnya. “Kalo saya gak jualan, saya gak bisa sekolah”
begitu kata Riyono.
Riyono muda juga dikenal sebagai sosok yang selalu
mempelopori ide-ide baru yang tidak difikirkan kebanyakkan orang waktu
itu. Program sholat Dhuha rutin yang kini menjadi program keseharian
wajib bagi siswa di SMA N 1 Kawedanan (tempat Riyono mengenyam bangku
SMA) ternyata bermula dari gagasannya. Komunitas Pecinta Alam di SMA-nya
yang masih eksis hingga kini juga berawal dari gagasannya.
Riyono juga pernah mendalami ilmu tenaga dalam. Ia
sempat mengikuti padepokan pencak silat di desanya. Tak hanya menjadi
murid, saat SMA Riyono ternyata mendirikan sendiri padepokan pencak
silat yang ia namai Padepokan Pencak Silat Ronggojiwo, dan dia sendiri
yang menjadi gurunya. Siapa sangka, padepokan yang baru berdiri itu
diminati sekitar tigapuluh anak muda di kampungnya.
Memasuki Dunia Kampus
Setelah lulus SMA, Riyono lebih memilih melanjutkan
ke jenjang perguruan tinggi. Berbekal uang hasil panen cabai dan uang
tambahan dari salah seorang guru SMA N 1 Kawedanan, berangkatlah Riyono
mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru. Setelah perjuangan yang
cukup melelahkan menghadapi sederetan soal ujian penerimaan, akhirnya
pada tahun 1998 Riyono menjadi salah satu dari dua orang siswa di SMA
nya yang lolos seleksi penerimaan mahasiswa baru di kampus biru,
Universitas Diponegoro. Pilihan hatinya jatuh pada Fakultas Kelautan dan
Perikanan. Hal ini membuat bangga orang tua serta pihak sekolah.
Perjalanan Riyono sampai ke jenjang perguruan
tinggi serta menikmati kampus terfavorit di Jawa Tengah waktu itu bukan
tanpa sebab. Bapak Jumiran, ayahnyalah yang senantiasa mendorong dan
menyemangati Riyono beserta ketiga saudaranya untuk terus sekolah.
Ayahnya tidak ingin anak-anaknya seperti dirinya yang hanya menjadi
petani biasa. Bapak Jumiran dan Ibu Winarti ingin putra-puterinya kelak
menjadi orang sukses yang bisa mengharumkan nama keluarga. Ada satu
nasihat dari Pak Jumiran yang masih melekat di benak Riyono, “Nek kowe
ora gelem sekolah mending kowe tak cekeli sapi, angon sapi wae” (Kalau
kamu tidak ingin sekolah mending kamu tak bekali sapi, menggembala sapi
saja). Walaupun kata-katanya sederhana, namun bagi Riyono nasehat itu
menyiratkan pesan ketidakrelaan pak Jumiran jika anak-anaknya putus
sekolah.
Di awal menjejakkan kaki di Fakultas Perikanan dan
Kelautan UNDIP Riyono dikenal sebagai sosok mahasiswa baru yang kritis
dan cenderung memberontak. OSPEK sebagai agenda rutin kampus ia tentang.
Baginya OSPEK hanya sebagai sarana perploncoan tanpa ada esensi
pendidikannya. Riyono memutuskan untuk tidak ikut OSPEK. Daripada ikut
OSPEK mending nyari kegiatan lain yang lebih bermanfaat, katanya. Ketika
teman-teman seangkatan digunduli kepalanya sebagai syarat kesertaan
OSPEK, Riyono tampil beda dengan style rambut yang gondrong era anak
kampung tahun ’98. Sikap Riyono ini berakibat ia harus berhadapan dengan
para senior kampus. Di hadapan para senior Riyono diancam
habis-habisan. Dia harus menerima boikot dari para senior tidak
diaktifkan di beberapa kegiatan kemahasiswaan. Bahkan dia sempat diancam
tidak akan diakui sebagai bagian dari angkatan ’98. Namun Riyono
bergeming. bahkan dengan lantang dia mengatakan “Tidak masalah. Silahkan
Anda memboikot saya, saya bisa buktikan bahwa saya bisa berkarya.”
Tempaan mental selama Riyono hidup di Magetan
ternyata ada gunanya. Riyono tumbuh menjadi pribadi yang pemberani.
Tantangan Riyono pada kakak seniornya di awal masuk kampus ia buktikan
dua tahun kemudian. Di tengah perilaku pengucilan oleh seniornya pada
awal tahun 2001, Riyono mencalonkan diri dalam bursa pemilihan Ketua
Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Kelautan. Barangkali orang mengira anak
kampung yang di boikot karena melawan kakak senior bakal keok. Namun
siapa sangka, panitia mengumumkan memenangkan Riyono pada pemilihan dan
didaulat menjadi Ketua HMJ Kelautan. Hal ini sontak membuat terkejut
senior-senior di Jurusan Kelautan. Belum sempat berakhir kekagetan para
senior, beberapa bulan kemudian Riyono menolak diadakannya OSPEK ketika
penerimaan mahasiswa baru. Sehingga OSPEK pada masa Riyono memimpin pun
ditiadakan.
Riyono semakin tumbuh menjadi pribadi yang tegas,
pemberani namun tetap santun. Ia menjadi sosok yang kuat memegang
prinsip. Pribadi yang terus berkembang semacam ini menjadikan Riyono
pada tahun 2002 dilantik menjadi Koordinator Konggres Mahasiswa (KM)
UNDIP, semacam lembaga legislatif di tingkat mahasiswa. Anggota DPRD
Jawa Tengah 2009–2014 Hadi Santoso yang waktu itu satu kampus dengan
Riyono, ternyata ketika menjabat sebagai Presiden BEM UNDIP, dilantik
oleh Riyono.
Karir aktivis mahasiswa Riyono tidak berhenti
sampai disini. Berbagai macam aktivitas dan kesibukkan Riyono tidak
melunturkan gelora idealisme mahasiswa pada masa itu. Bahkan karakter
inovatifnya tetap melekat pada diri Riyono. Buktinya Riyono bersama Hadi
Santoso, Antoni dan beberapa rekan lainnya mempelopori berdirinya
organisasi ekstra kampus Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
(KAMMI) Komisariat UNDIP. KAMMI adalah salah satu organisasi mahasiswa
ekstra kampus yang mempelopori reformasi 1998. Pada waktu itu KAMMI
dikenal sebagai salah satu gerakan yang kritis dengan aksi demonstrasi
damai walau jumlah massa yang ikut ratusan orang. Keaktifan di KAMMI
membuat Riyono ditunjuk menjadi Ketua Departemen Kajian Strategis
(Kastrat) KAMMI Daerah Semarang pasca aktif menjadi koordinator KM
UNDIP.
Pada masa itu (1998-2004) gerakan mahasiswa masih
bercorak sebagai gerakan ekstraparlementer semata. Aksi-aksi jalanan dan
diskusi gerakan yang bersifat taktis lebih mendominasi. Sehingga
semboyan anak-anak KAMMI yang terkenal waktu itu “Aspal Mana di Semarang
yang Belum Saya Lewati” sangat melekat di setiap kader KAMMI waktu itu.
Demonstrasi mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat
menjadi agenda keseharian Riyono waktu itu. Karena demonstrasi inilah
Riyono sudah biasa keluar masuk kantor polisi untuk diinterogasi dan
diperiksa. Pernah karena sangat takutnya diinterogasi, Riyono membuang
kartu identitas dirinya di toilet agar tidak terlacak.
Tetap Berdagang Tetap Berprestasi
Seabrek aktivitas kemahasiswaan yang Riyono alami
ternyata tidak membuat ia lupa akan statusnya sebagai mahasiswa. Ia
harus tetap kuliah dan memenuhi kebutuhan kuliah dengan biaya sendiri.
Untuk menghemat pengeluaran, Riyono menahan diri untuk tidak tinggal di
kos-kosan seperti teman-temannya yang lain. Ia lebih memilih menjadi
takmir masjid. Berpindah dari masjid ke masjid. Kebiasaan berdagang
ketika masa sekolah masih ia bawa di kampus. Di sela-sela aktivitas baik
sebagai ketua HMJ, Koordinator KM Undip, atau aktivitas lainnya, ia
manfaatkan untuk berdagang. Berjualan majalah Islami, pernak-pernik,
serta makanan ringan yang dititipkan ke kos-kos ia lakukan untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Karena sering berjualan majalah dan buku
Islami secara berkeliling, Riyono dijuluki oleh teman-temannya sebagai
“Perpustakaan Berjalan”.
Menjadi aktivis dan berdagang membuat Riyono tetap
sadar akan tujuan utama ia datang jauh-jauh dari Magetan ke Semarang.
Bagi Riyono, kuliah adalah amanah orang tua yang harus ia tunaikan.
Dalam setiap aktivitas akademiknya, Riyono selalu menjaga ritme belajar
agar Indeks Prestasi (IP) tidak turun dari 3,0. Dan hal itu berhasil ia
lakukan. Sepanjang kuliah Riyono tidak pernah mendapatkan IP di bawah
3,0.
Perannya sebagai aktivis di kampus dan prestasi
akademik yang cukup memuaskan membuat Riyono sering dilibatkan dalam
proyek-proyek dosen. Baginya proyek-proyek yang sering dilakukan di
pesisir pantura ini cukup membantu pemasukan finansial walaupun sedikit.
Pernah pada semester lima Riyono diberi tugas proyek penelitian
mengukur arah gelombang di Pantai Alam Indah Tegal oleh ketua
jurusannya. Penelitian ia lakukan sendirian berada di tengah lautan dan
tanpa ditemani oleh orang lain. Pada kesempatan lain, perahu yang
Riyono tumpangi sempat terhantam ombak hingga terbalik. Ia hampir
tenggelam waktu itu. Namun Allah swt masih menolongnya.
Selama mendapat proyek penelitian dari dosen,
Riyono tinggal bersama nelayan di sekitar pantai utara. Dari sinilah ia
mulai merasakan bahwa menjadi nelayan itu tidak mudah. Sepanjang
penelitian itu Riyono berkesimpulan bahwa penghasilan yang dimiliki
nelayan itu masih rendah. Apalagi ketika musim barat. Pada titik inilah
timbul tekad dalam diri Riyono agar suatu saat ia mampu merubah nasib
hidup nelayan.
Riyono akhirnya lulus pada tahun 2005 dengan
predikat Sarjana Kelautan. Ia menghabiskan waktu empat belas semester
kuliah. Secara mengejutkan Riyono diwisuda dalam kondisi sudah menikah
dengan Birrul Abweni dan dikaruniai putra yang baru berumur satu minggu.
Berkenalan dengan PKS
Perkenalan awal Riyono dengan PKS diawali sejak
pertama kali masuk perguruan tinggi. Pada waktu itu PKS masih bernama
Partai Keadilan. Riyono awalnya diajak oleh kakak angkatan untuk
mengikuti program pembinaan PKS yang bernama halaqah. Memang sejak awal
sense of religius sudah ada dalam diri Riyono. Sehingga halaqah bagi
Riyono adalah kenikmatan tersendiri. Seakan ia menemukkan sesuatu yang
hilang dari dalam dirinya. Solidaritas yang dibangun antar anggota
membuat Riyono semakin betah. Metode tarbiyah yang diajarkan membuat
Riyono mendapat pencerahan tentang bagaimana menentukan arah hidup dan
pedoman bagaimana ia harus bersikap dalam hidup. Bahkan karena tarbiyah,
pada usia 25 tahun dan belum lulus Riyono berani memutuskan diri untuk
menikah. Pada tanggal 26 Desember 2005 Riyono melangsungkan akad dengan
Birrul Abweni, wanita pilihan hatinya.
Setelah mengikuti pembinaan intensif PKS cukup lama
Riyono mulai dilibatkan dalama agenda–agenda dakwah di partai. Ia mulai
dipercaya menjadi bagian dari Badan Pemenangan Pemilu DPW PKS Jateng.
Riyono sempat membantu verifikasi berkas-berkas perpindahan PK ke PKS di
Kudus pada tahun 2003. Ia juga dipercaya oleh struktur partai untuk
maju menjadi calon anggota legislatif PKS periode 2004-2009, padahal
waktu itu Riyono masih dalam proses skripsi. Hal ini membuat Riyono
sempat tidak aktif di kampus dan menunda kelulusannya selama dua tahun.
Menjadi Pembela Petani dan Nelayan Indonesia
Jiwa Riyono sejak lama memang sudah terpanggil
untuk membela kaum tani. Namun hal itu baru dapat terealisasikan ketika
Riyono masih aktif sebagai ketua HMJ Kelautan. pada bulan September
tahun 2003 Riyono mengikuti Kongres Masyarakat Pertanian Indonesia di
IPB. Kongres yang diikuti oleh BEM seluruh Indonesia, pakar pertanian,
akademisi, perwakilan kelompok tani, perwakilan dinas-dinas ini menunjuk
Riyono menjadi ketua sidangnya. Kemudian pada tanggal 17 September 2003
Riyono bersama Baran Wirawan (sekretaris Menteri Pertanian 2009-2014),
Dr. Sugeng Herususeno (Wakil Dekan FPIK IPB 2013) dan peserta kongres
lainnya mendeklarasikan berdirinya Federasi Petani Nelayan Sejahtera
Indonesia (FPNSI). FPNSI merupakan cikal bakal munculnya PPNSI. Selama
di FPNSI Riyono turut membantu program pemerintah terkait pemberdayaan
petani. Ia juga turut serta dalam pemberdayaan masyarakat di pesisir
Jawa Tengah. Riyono juga diminta mendampingi pemberdayaan ternak
beberapa kota di Jawa Tengah.
Namun perjalanan aktifitas FPNSI tidak berjalan
mulus karena permasalahan administratif. Sehingga atas sikap yang cepat
dari Riyono, Antoni dan tiga rekannya, dideklarasikanlah Perhimpunan
Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia di Jawa Tengah pada tanggal 19
Maret 2005. Riyono ditunjuk menjadi Ketua PPNSI Jawa Tengah.
Selama kepemimpinan Riyono, PPNSI sempat mendirikan
pabrik sekala UMKM dengan bahan pengawet alternatif bernama Chitosan di
Jepara sekitar 2007. Namun karena adanya ketimpangan teknologi Chitosan
tercemar dengan zat besi, pabrik terpaksa tutup dan menelan kerugian
sekitar 100 juta rupiah. Sikap pembelajar yang dimiliki Riyono membuat
PPNSI dan seluruh struktur tidak patah arang.
Nama PPNSI mulai muncul di permukaan ketika Riyono
dan kawan-kawan mengadvokasi usulan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo
pada tahun 2008 yang ingin menghapus subsidi pupuk. Bagi Riyono,
menghapus subsidi pupuk sama dengan membunuh petani. Akibat aksi keras
PPNSI kepada pemerintah, Riyono dipanggil langsung oleh Bibit Waluyo.
Namun sikap Riyono yang tegas itulah yang mungkin menjadi sebab subsidi
pupuk tidak jadi dihapus.
Kini, pria yang berdomisili di Mijen, Semarang itu
terpilih menjadi Anggota DPRD Provinsi untuk Dapil X (Kabupaten Batang,
Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Pemalang). Melalui
posisinya saat ini, Riyono diharapkan tetap berjuang bagi tani dan
nelayan, khususnya di Jateng.
Sumber : pksjateng.or.id
Tidak ada komentar