Oleh Riyono, S.KEL., M.SI
Tidak banyak yang tahu bahwa tanggal 6 April merupakan hari nelayan nasional. Keberadaan nelayan memang kurang menarik untuk diperbicangkan. Kemiskinan dan penderitaan sebagai kaum pinggiran selalu mengiringi kehidupan mereka. Kebanggaan Indonesia dengan semboyan nenek moyangku seorang pelaut sudah hilang saat ini. Melimpahnya kekayaan laut sampai sekarang hanya dinikmati oleh kalangan tertentu dan tidak mambawa pengaruh bagi kesejahteraan nelayan. Kekayaan alam nusantara yang mengundang Colombus untuk mengarungi lautan lepas dari Amerika Serikat menuju bumi pertiwi, ibarat cerita di negeri dongeng bagi nelayan.
Prof. Purbayu, pakar ekonomi pembangunan menyebutkan bahwa kekayaan alam Indonesia menduduki peringkat atas, hanya Brasil yang bisa menandinginya. Namun ironisnya kelimpahan dan kekayaan itu tidak membawa kesejahteraan bagi rakyat, khususnya nelayan. Kondisi kemiskinan semakin hari terus bertambah, terutama kalangan nelayan.
Lebih dari 22 persen seluruh penduduk Indonesia justru berada di bawah garis kemiskinan dan selama ini menjadi golongan yang paling terpinggirkan karena kebijakan dalam pembangunan yang lebih mengarah ke daratan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, penduduk miskin di Indonesia mencapai 34,96 juta jiwa dan 63,47 persen di antaranya adalah masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan pedesaan. Tahun 2010 angka kemiskinan yang dikeluarkan BPS terakhir mencapai 35 juta orang atau 13,33 persen dari jumlah penduduk yang mencapai sekitar 237 juta jiwa, sedangkan bank dunia melaporkan kemiskinan di Indonesia masih sekitar 100 juta.
Prof. Herman Soewardi, pakar ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayan banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristik sumberdaya serta teknologi yang digunakan. Faktor-faktor tersebut yang membuat nelayan tetap dalam kemiskinannya.
Akar Kemiskinan di Nelayan
Banyak pendapat para pakar tentang kemiskinan di pesisir, Panayotou (1982) mengatakan bahwa nelayan tetap mau hidup dalam kemiskinan karena keinginannya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way of life). Pendapat Panayotou (1982) ini dikalimatkan oleh Subade dan Abdullah (1993) menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan sebagai pelaku yang semata-mata beorientasi pada peningkatan pendapatan.
Karena way of life maka apapun yang terjadi dengan keadaannya, hal tersebut tidak dianggap sebagai masalah baginya. Way of life sangat sukar untuk dirubah. Karena itu meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupannya.
Kemiskinan di komunitas nelayan masuk kategori kemiskinan cultural dan kemiskinan structural. Jika kita telusuri kemiskinan nelayan, sebenarnya hanya karena tiga faktor pokok, pertama rendahnya political will pemerintah dalam membangun dunia kelautan dan perikanan secara integral. Kondisi ini bisa dilihat dengan orientasi pembangunan ke perdesaan darat bukan pesisir. Penempatan nelayan sebagai obyek pembangunan akhirnya mematikan inisiatif dan daya ungkit kearifan lokal.
Ini berbeda dengan di Sri Lanka, misalnya, pembangunan untuk mengatasi kemiskinan nelayan begitu signifikan hasilnya karena prinsip program pembangunan yang dianut adalah helping the poor to help them selves. Menjadikan nelayan berdaya berasal dari diri nelayan sendiri melalui pengembangan kearifan lokal akhirnya mengangkat nelayan Sri lanka semakin sejahtera.
Kedua, lambannya proses alih teknologi di masyarakat pesisir. Nelayan luar negeri mencuri ikan di negara kita dengan kapal dan alat canggih sehingga hasilnya bisa untuk hidup satu bulan. Kecanggihan teknologi pencuri ikan telah merugikan negara hampir 40 trilyun per tahun karena illegal fishing. Nelayan kita sangat jauh tertinggal secara teknologi, baik penangkapan maupun pengolahan. Kapal tangkap yang hanya dilengkapi jaring tradisional, hanya bisa menjangkau puluhan mil dari pantai. Hasilnya pun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, apalagi sekunder dan tersier. Hasil yang sedikit kadang harus disisihkan untuk membayar hutang ke rentenir.
Ketiga, minimnya sinergi antara pemerintah dan stakeholder pembangunan perikanan kelautan. Kita ambil contoh bagaimana antar departemen saling berebut “mangsa” nelayan untuk dijadikan obyek proyek pengentasan kemiskinan. Ini menunjukkan ego sektoral dan rendahnya komitmen berpihak kepada nelayan. Lemahnya koordinasi antar departemen atau dinas dalam pengentasan kemiskinan nelayan membuat program yang saling merugikan, akhirnya menindih nelayan sehingga semakin miskin.
Boleh jadi banyak bantuan, namun karena tidak adanya kebersamaan dan integralitas antar sektor membuat bantuan akhirnya menjadi “bancakan” yang tidak meninggalkan bekas di hati nelayan. Sinergisitas di pemerintahan sangat sulit dilaksanakan dan pemerintah juga kurang menyapa stakeholder swasta, ormas, LSM sebagai pilar yang terlibat secara langsung dalam keseharian kehidupan nelayan.
Ini terjadi karena tidak adanya rasa saling percaya antara pemerintah dan stakeholder. Misalnya LSM selalu dituding kritis dan berorientasi pada materi, padahal sejujurnya apa yang dilakukan LSM adalah mencari akar masalah yang nyata di tingkat nelayan sehingga memiliki identifikasi dan data yang akurat tentang kondisi nelayan. Tujuan itu akhirnya menghasilkan pendekatan yang tepat bagi program pengentasan kemiskinan.
Selama ini pemerintah sering tidak memahami masalah serta tugasnya dalam menangani kemiskinan nelayan, sehingga karena memiliki dana, yang penting penyerapan anggaran tercapai padahal tidak jelas output dan outcamenya. Parahnya lagi program dinas sering kita temukan hanya meniru program tahun sebelumnya dengan sedikit memodifikasi nomer urut program. Tiga masalah diatas merangkup berbagai pendapat para ahli dan akademisi yang kadang hanya berputar – putar pada tataran konsep dan teori.
Kebangkitan Nelayan
Berharap pada kebijakan pemerintah rasanya sulit untuk bangkit dari keterpurukan bagi para nelayan Indonesia. Sekarang saja sudah lenyap jati diri nelayan, yang ada hanyalah buruh, kuli dan nelayan gurem yang terpaksa menerima kondisi kemiskinan ini. Layaknya gerakan sipil dan komunitas muda merintis berbagai usaha untuk membangun keberanian dan kemandirian buruh nelayan agar memiliki harapan hidup ke depan yang lebih baik. Gerakan mahasiswa hendaklah bersama nelayan, jangan sampai terseret arus politik. Peran pendamping masih sangat diharapkan ditengah aparat yang terbatas jumlahnya. Adakanlah kuliah kerja nyata dan kuliah kerja usaha di lingkungan nelayan. Ajarkanlah mereka tentang usaha dan teknologi secara kontinyu. Jika gerakan mahasiswa mau menggarap isu proletar kerakyatan maka optimisme nelayan perlahan akan bangkit. Gerakan masyarakat professional seperti ICMI yang telah mendeklarasikan akan lebih dekat dengan isu grassroot hendaknya segera bergabung. Masyarakat profesi ini memiliki keahlian dan tenaga trampil yang sudah mandiri, mereka bekerja karena panggilan pengabdian, bukan karena materi.
Jika isu ini diangkat dan dilakukan akan membuat pondasi semangat dan harapan yang dibangun oleh gerakan mahasiswa akan berlanjut, sumberdaya dan sumberdana masyarakat profesi lebih kuat dan fleksibel dalam membuat program yang mewadahi kearifan lokal nelayan.
Bersatunya gerakan mahasiswa dan gerakan sipil akan menjadikan agenda pengentasan kemiskinan semakin banyak yang menyelesaikannya, terutama kemiskinan di lingkungan pesisir. Kebersamaan dalam agenda dan kepentingan untuk mengentaskan kemiskinan akan menjadikan bangsa ini sibuk bekerja, bukan hanya sibuk berkomentar tentang kemiskinan nelayan.
Belajar dari Muhammad Yunus pengentas kemiskinan di India, bersatunya gerakan sipil dan professional harusnya didukung oleh tokoh-tokoh yang rela untuk tidak popular, dan hidup bersama nelayan membangkitkan semangat serta harapan hidup ke depan. Saat ini masih belum ada tokoh yang menjadi tempat curhat nelayan, sekiranya DPR masih ingat akan janjinya saat pemilu. Merekalah yang harusnya bisa menjadi bapak nelayan. Namun kapan kemiskinan nelayan ini akan berakhir ? Siapa yang akan peduli ? Jangan sampai kekayaan laut kita hanya menjadi bancakan Negara asing.
Prof. Purbayu, pakar ekonomi pembangunan menyebutkan bahwa kekayaan alam Indonesia menduduki peringkat atas, hanya Brasil yang bisa menandinginya. Namun ironisnya kelimpahan dan kekayaan itu tidak membawa kesejahteraan bagi rakyat, khususnya nelayan. Kondisi kemiskinan semakin hari terus bertambah, terutama kalangan nelayan.
Lebih dari 22 persen seluruh penduduk Indonesia justru berada di bawah garis kemiskinan dan selama ini menjadi golongan yang paling terpinggirkan karena kebijakan dalam pembangunan yang lebih mengarah ke daratan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, penduduk miskin di Indonesia mencapai 34,96 juta jiwa dan 63,47 persen di antaranya adalah masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan pedesaan. Tahun 2010 angka kemiskinan yang dikeluarkan BPS terakhir mencapai 35 juta orang atau 13,33 persen dari jumlah penduduk yang mencapai sekitar 237 juta jiwa, sedangkan bank dunia melaporkan kemiskinan di Indonesia masih sekitar 100 juta.
Prof. Herman Soewardi, pakar ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayan banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristik sumberdaya serta teknologi yang digunakan. Faktor-faktor tersebut yang membuat nelayan tetap dalam kemiskinannya.
Akar Kemiskinan di Nelayan
Banyak pendapat para pakar tentang kemiskinan di pesisir, Panayotou (1982) mengatakan bahwa nelayan tetap mau hidup dalam kemiskinan karena keinginannya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way of life). Pendapat Panayotou (1982) ini dikalimatkan oleh Subade dan Abdullah (1993) menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan sebagai pelaku yang semata-mata beorientasi pada peningkatan pendapatan.
Karena way of life maka apapun yang terjadi dengan keadaannya, hal tersebut tidak dianggap sebagai masalah baginya. Way of life sangat sukar untuk dirubah. Karena itu meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupannya.
Kemiskinan di komunitas nelayan masuk kategori kemiskinan cultural dan kemiskinan structural. Jika kita telusuri kemiskinan nelayan, sebenarnya hanya karena tiga faktor pokok, pertama rendahnya political will pemerintah dalam membangun dunia kelautan dan perikanan secara integral. Kondisi ini bisa dilihat dengan orientasi pembangunan ke perdesaan darat bukan pesisir. Penempatan nelayan sebagai obyek pembangunan akhirnya mematikan inisiatif dan daya ungkit kearifan lokal.
Ini berbeda dengan di Sri Lanka, misalnya, pembangunan untuk mengatasi kemiskinan nelayan begitu signifikan hasilnya karena prinsip program pembangunan yang dianut adalah helping the poor to help them selves. Menjadikan nelayan berdaya berasal dari diri nelayan sendiri melalui pengembangan kearifan lokal akhirnya mengangkat nelayan Sri lanka semakin sejahtera.
Kedua, lambannya proses alih teknologi di masyarakat pesisir. Nelayan luar negeri mencuri ikan di negara kita dengan kapal dan alat canggih sehingga hasilnya bisa untuk hidup satu bulan. Kecanggihan teknologi pencuri ikan telah merugikan negara hampir 40 trilyun per tahun karena illegal fishing. Nelayan kita sangat jauh tertinggal secara teknologi, baik penangkapan maupun pengolahan. Kapal tangkap yang hanya dilengkapi jaring tradisional, hanya bisa menjangkau puluhan mil dari pantai. Hasilnya pun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, apalagi sekunder dan tersier. Hasil yang sedikit kadang harus disisihkan untuk membayar hutang ke rentenir.
Ketiga, minimnya sinergi antara pemerintah dan stakeholder pembangunan perikanan kelautan. Kita ambil contoh bagaimana antar departemen saling berebut “mangsa” nelayan untuk dijadikan obyek proyek pengentasan kemiskinan. Ini menunjukkan ego sektoral dan rendahnya komitmen berpihak kepada nelayan. Lemahnya koordinasi antar departemen atau dinas dalam pengentasan kemiskinan nelayan membuat program yang saling merugikan, akhirnya menindih nelayan sehingga semakin miskin.
Boleh jadi banyak bantuan, namun karena tidak adanya kebersamaan dan integralitas antar sektor membuat bantuan akhirnya menjadi “bancakan” yang tidak meninggalkan bekas di hati nelayan. Sinergisitas di pemerintahan sangat sulit dilaksanakan dan pemerintah juga kurang menyapa stakeholder swasta, ormas, LSM sebagai pilar yang terlibat secara langsung dalam keseharian kehidupan nelayan.
Ini terjadi karena tidak adanya rasa saling percaya antara pemerintah dan stakeholder. Misalnya LSM selalu dituding kritis dan berorientasi pada materi, padahal sejujurnya apa yang dilakukan LSM adalah mencari akar masalah yang nyata di tingkat nelayan sehingga memiliki identifikasi dan data yang akurat tentang kondisi nelayan. Tujuan itu akhirnya menghasilkan pendekatan yang tepat bagi program pengentasan kemiskinan.
Selama ini pemerintah sering tidak memahami masalah serta tugasnya dalam menangani kemiskinan nelayan, sehingga karena memiliki dana, yang penting penyerapan anggaran tercapai padahal tidak jelas output dan outcamenya. Parahnya lagi program dinas sering kita temukan hanya meniru program tahun sebelumnya dengan sedikit memodifikasi nomer urut program. Tiga masalah diatas merangkup berbagai pendapat para ahli dan akademisi yang kadang hanya berputar – putar pada tataran konsep dan teori.
Kebangkitan Nelayan
Berharap pada kebijakan pemerintah rasanya sulit untuk bangkit dari keterpurukan bagi para nelayan Indonesia. Sekarang saja sudah lenyap jati diri nelayan, yang ada hanyalah buruh, kuli dan nelayan gurem yang terpaksa menerima kondisi kemiskinan ini. Layaknya gerakan sipil dan komunitas muda merintis berbagai usaha untuk membangun keberanian dan kemandirian buruh nelayan agar memiliki harapan hidup ke depan yang lebih baik. Gerakan mahasiswa hendaklah bersama nelayan, jangan sampai terseret arus politik. Peran pendamping masih sangat diharapkan ditengah aparat yang terbatas jumlahnya. Adakanlah kuliah kerja nyata dan kuliah kerja usaha di lingkungan nelayan. Ajarkanlah mereka tentang usaha dan teknologi secara kontinyu. Jika gerakan mahasiswa mau menggarap isu proletar kerakyatan maka optimisme nelayan perlahan akan bangkit. Gerakan masyarakat professional seperti ICMI yang telah mendeklarasikan akan lebih dekat dengan isu grassroot hendaknya segera bergabung. Masyarakat profesi ini memiliki keahlian dan tenaga trampil yang sudah mandiri, mereka bekerja karena panggilan pengabdian, bukan karena materi.
Jika isu ini diangkat dan dilakukan akan membuat pondasi semangat dan harapan yang dibangun oleh gerakan mahasiswa akan berlanjut, sumberdaya dan sumberdana masyarakat profesi lebih kuat dan fleksibel dalam membuat program yang mewadahi kearifan lokal nelayan.
Bersatunya gerakan mahasiswa dan gerakan sipil akan menjadikan agenda pengentasan kemiskinan semakin banyak yang menyelesaikannya, terutama kemiskinan di lingkungan pesisir. Kebersamaan dalam agenda dan kepentingan untuk mengentaskan kemiskinan akan menjadikan bangsa ini sibuk bekerja, bukan hanya sibuk berkomentar tentang kemiskinan nelayan.
Belajar dari Muhammad Yunus pengentas kemiskinan di India, bersatunya gerakan sipil dan professional harusnya didukung oleh tokoh-tokoh yang rela untuk tidak popular, dan hidup bersama nelayan membangkitkan semangat serta harapan hidup ke depan. Saat ini masih belum ada tokoh yang menjadi tempat curhat nelayan, sekiranya DPR masih ingat akan janjinya saat pemilu. Merekalah yang harusnya bisa menjadi bapak nelayan. Namun kapan kemiskinan nelayan ini akan berakhir ? Siapa yang akan peduli ? Jangan sampai kekayaan laut kita hanya menjadi bancakan Negara asing.
Tidak ada komentar