Riyono, nama sederhana pemberian
pasangan suami istri bapak Jumiran dan ibu Winarti. Ia lahir pada hari
Kamis 8 Juni 1978 di Kota Kecil, Magetan Jawa Timur. Siapa sangka pria
yang masa kecilnya bergelut dengan sawah dan kebun ini akan menjadi
salah satu tokoh yang cukup diperhitungkan baik di tingkat regional Jawa
Tengah maupun tingkat nasional. Perhatiannya kepada kesejahteraan
petani dan nelayan menjadikannya sebagai Deklarator dan Sekretaris
Jenderal Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia (PPNSI)
tingkat pusat. Baginya kesejahteraan petani dan nelayan adalah
keniscayaan. Tekadnya ini cukup beralasan karena selain Indonesia
dikenal sebagai negara agraris, sumber Produk Domestik Bruto Nasional
40% berasal dari sektor pertanian.
Selain kecintaannya kepada nelayan dan petani, Riyono juga dikenal sebagai pria yang religius. Kecintaannya kepada Islam serta semangat untuk menegakkan kalimat Allah di bumi Indonesia inilah yang memaksanya untuk turut aktif terjun di dunia dakwah melalui jalur politik. Ia kini aktif sebagai Ketua Bidang Buruh, Tani dan Nelayan Dewan Pengurus Wilayah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jawa Tengah. Selaras dengan minatnya di bidang pertanian dan buruh.
Dari Bercocok Tanam Hingga Pencak Silat
Riyono dilahirkan dari keluarga petani yang serba terbatas. Hal ini tidak menjadikan Riyono berputus asa. Pria bertubuh agak gemuk ini bahkan sangat bersyukur jika dilahirkan sebagai keluarga petani. Dari keluarga yang serba terbatas inilah ia dididik tentang pentingnya arti kedisiplinan dan kerja keras. Dari ayahnya ia belajar bahwa untuk mendapatkan hasil yang baik, maka harus diawali dengan usaha yang keras. Pernah pada tahun 1997 keinginan Riyono untuk masuk perguruan tinggi hampir ia urungkan karena keterbatasan biaya. Masuk perguruan tinggi di kala itu—apalagi di wilayah Magetan—masih dianggap sebagai suatu hal yang prestise. Namun berkat saran dan dorongan dari ayahnya, Riyono pun berinisiatif membiayai seluruh biaya pendaftaran kuliahnya dari menanam cabai. Tahap demi tahap pun dia jalani. Mulai dari mencangkul tanah, menyebar bibit, hingga merawatnya secara berkala. Dan hasilnya fantastis! Ia berhasil memanen cabai yang ia tanam sendiri dan hasil dari penjualan cabainya ia gunakan untuk biaya kuliah. Baginya ini merupakan kepuasan tingkat tinggi dan tidak ada duanya di muka bumi.
Kebiasaan disiplin dan kerja keras yang ditanamkan ayahnya sejak dini menjadikan Riyono tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter leader dan enterpreuner. Karakter sebagai leader sudah terlihat semenjak ia duduk di bangku sekolah. Semasa sekolah, Riyono senantiasa ditunjuk sebagai pemimpin bagi teman-temannya. Ketika SD dan SMP misalnya, selama sembilan tahun berturut–turut Riyono dipercaya oleh teman-temannya menjadi ketua kelas. Bahkan ketika SMA selain menjadi ketua kelas Riyono juga didaulat untuk memimpin organisasi sekelas OSIS.
Di tengah aktivitasnya menjadi siswa nomor satu di SMA-nya, tidak menjadikan Riyono malu berjualan jajanan kepada teman-temannya. Kebiasaan ini ternyata juga ia lanjutkan hingga kuliah. Mulai dari jualan keliling kelas, menitipkan jualannya ke kantin hingga menjadi kasir di koperasi sekolah karena dagangannya ia titipkan di sana. Semuanya dilakukan Riyono tanpa rasa malu. Bahkan menurutnya karena sering berjualan itulah ia menjadi siswa yang dikenal seluruh siswa di SMA-nya. Selain berjualan di sekolah, waktu pagi ia sempatkan untuk berjualan telur keliling kampung. Semua ini ia lakukan untuk membiayai sekolahnya. “Kalo saya gak jualan, saya gak bisa sekolah” begitu kata Riyono.
Riyono muda juga dikenal sebagai sosok yang selalu mempelopori ide-ide baru yang tidak difikirkan kebanyakkan orang waktu itu. Program sholat Dhuha rutin yang kini menjadi program keseharian wajib bagi siswa di SMA N 1 Kawedanan (tempat Riyono mengenyam bangku SMA) ternyata bermula dari gagasannya. Komunitas Pecinta Alam di SMA-nya yang masih eksis hingga kini juga berawal dari gagasannya.
Riyono juga pernah mendalami ilmu tenaga dalam. Ia sempat mengikuti padepokan pencak silat di desanya. Tak hanya menjadi murid, saat SMA Riyono ternyata mendirikan sendiri padepokan pencak silat yang ia namai Padepokan Pencak Silat Ronggojiwo, dan dia sendiri yang menjadi gurunya. Siapa sangka, padepokan yang baru berdiri itu diminati sekitar tigapuluh anak muda di kampungnya.
Memasuki Dunia Kampus
Setelah lulus SMA, Riyono lebih memilih melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Berbekal uang hasil panen cabai dan uang tambahan dari salah seorang guru SMA N 1 Kawedanan, berangkatlah Riyono mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru. Setelah perjuangan yang cukup melelahkan menghadapi sederetan soal ujian penerimaan, akhirnya pada tahun 1998 Riyono menjadi salah satu dari dua orang siswa di SMA nya yang lolos seleksi penerimaan mahasiswa baru di kampus biru, Universitas Diponegoro. Pilihan hatinya jatuh pada Fakultas Kelautan dan Perikanan. Hal ini membuat bangga orang tua serta pihak sekolah.
Perjalanan Riyono sampai ke jenjang perguruan tinggi serta menikmati kampus terfavorit di Jawa Tengah waktu itu bukan tanpa sebab. Bapak Jumiran, ayahnyalah yang senantiasa mendorong dan menyemangati Riyono beserta ketiga saudaranya untuk terus sekolah. Ayahnya tidak ingin anak-anaknya seperti dirinya yang hanya menjadi petani biasa. Bapak Jumiran dan Ibu Winarti ingin putra-puterinya kelak menjadi orang sukses yang bisa mengharumkan nama keluarga. Ada satu nasihat dari Pak Jumiran yang masih melekat di benak Riyono, “Nek kowe ora gelem sekolah mending kowe tak cekeli sapi, angon sapi wae” (Kalau kamu tidak ingin sekolah mending kamu tak bekali sapi, menggembala sapi saja). Walaupun kata-katanya sederhana, namun bagi Riyono nasehat itu menyiratkan pesan ketidakrelaan pak Jumiran jika anak-anaknya putus sekolah.
Di awal menjejakkan kaki di Fakultas Perikanan dan Kelautan UNDIP Riyono dikenal sebagai sosok mahasiswa baru yang kritis dan cenderung memberontak. OSPEK sebagai agenda rutin kampus ia tentang. Baginya OSPEK hanya sebagai sarana perploncoan tanpa ada esensi pendidikannya. Riyono memutuskan untuk tidak ikut OSPEK. Daripada ikut OSPEK mending nyari kegiatan lain yang lebih bermanfaat, katanya. Ketika teman-teman seangkatan digunduli kepalanya sebagai syarat kesertaan OSPEK, Riyono tampil beda dengan style rambut yang gondrong era anak kampung tahun ’98. Sikap Riyono ini berakibat ia harus berhadapan dengan para senior kampus. Di hadapan para senior Riyono diancam habis-habisan. Dia harus menerima boikot dari para senior tidak diaktifkan di beberapa kegiatan kemahasiswaan. Bahkan dia sempat diancam tidak akan diakui sebagai bagian dari angkatan ’98. Namun Riyono bergeming. bahkan dengan lantang dia mengatakan “Tidak masalah. Silahkan Anda memboikot saya, saya bisa buktikan bahwa saya bisa berkarya.”
Tempaan mental selama Riyono hidup di Magetan ternyata ada gunanya. Riyono tumbuh menjadi pribadi yang pemberani. Tantangan Riyono pada kakak seniornya di awal masuk kampus ia buktikan dua tahun kemudian. Di tengah perilaku pengucilan oleh seniornya pada awal tahun 2001, Riyono mencalonkan diri dalam bursa pemilihan Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Kelautan. Barangkali orang mengira anak kampung yang di boikot karena melawan kakak senior bakal keok. Namun siapa sangka, panitia mengumumkan memenangkan Riyono pada pemilihan dan didaulat menjadi Ketua HMJ Kelautan. Hal ini sontak membuat terkejut senior-senior di Jurusan Kelautan. Belum sempat berakhir kekagetan para senior, beberapa bulan kemudian Riyono menolak diadakannya OSPEK ketika penerimaan mahasiswa baru. Sehingga OSPEK pada masa Riyono memimpin pun ditiadakan.
Riyono semakin tumbuh menjadi pribadi yang tegas, pemberani namun tetap santun. Ia menjadi sosok yang kuat memegang prinsip. Pribadi yang terus berkembang semacam ini menjadikan Riyono pada tahun 2002 dilantik menjadi Koordinator Konggres Mahasiswa (KM) UNDIP, semacam lembaga legislatif di tingkat mahasiswa. Anggota DPRD Jawa Tengah 2009–2014 Hadi Santoso yang waktu itu satu kampus dengan Riyono, ternyata ketika menjabat sebagai Presiden BEM UNDIP, dilantik oleh Riyono.
Karir aktivis mahasiswa Riyono tidak berhenti sampai disini. Berbagai macam aktivitas dan kesibukkan Riyono tidak melunturkan gelora idealisme mahasiswa pada masa itu. Bahkan karakter inovatifnya tetap melekat pada diri Riyono. Buktinya Riyono bersama Hadi Santoso, Antoni dan beberapa rekan lainnya mempelopori berdirinya organisasi ekstra kampus Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Komisariat UNDIP. KAMMI adalah salah satu organisasi mahasiswa ekstra kampus yang mempelopori reformasi 1998. Pada waktu itu KAMMI dikenal sebagai salah satu gerakan yang kritis dengan aksi demonstrasi damai walau jumlah massa yang ikut ratusan orang. Keaktifan di KAMMI membuat Riyono ditunjuk menjadi Ketua Departemen Kajian Strategis (Kastrat) KAMMI Daerah Semarang pasca aktif menjadi koordinator KM UNDIP.
Pada masa itu (1998-2004) gerakan mahasiswa masih bercorak sebagai gerakan ekstraparlementer semata. Aksi-aksi jalanan dan diskusi gerakan yang bersifat taktis lebih mendominasi. Sehingga semboyan anak-anak KAMMI yang terkenal waktu itu “Aspal Mana di Semarang yang Belum Saya Lewati” sangat melekat di setiap kader KAMMI waktu itu. Demonstrasi mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat menjadi agenda keseharian Riyono waktu itu. Karena demonstrasi inilah Riyono sudah biasa keluar masuk kantor polisi untuk diinterogasi dan diperiksa. Pernah karena sangat takutnya diinterogasi, Riyono membuang kartu identitas dirinya di toilet agar tidak terlacak.
Tetap Berdagang Tetap Berprestasi
Seabrek aktivitas kemahasiswaan yang Riyono alami ternyata tidak membuat ia lupa akan statusnya sebagai mahasiswa. Ia harus tetap kuliah dan memenuhi kebutuhan kuliah dengan biaya sendiri. Untuk menghemat pengeluaran, Riyono menahan diri untuk tidak tinggal di kos-kosan seperti teman-temannya yang lain. Ia lebih memilih menjadi takmir masjid. Berpindah dari masjid ke masjid. Kebiasaan berdagang ketika masa sekolah masih ia bawa di kampus. Di sela-sela aktivitas baik sebagai ketua HMJ, Koordinator KM Undip, atau aktivitas lainnya, ia manfaatkan untuk berdagang. Berjualan majalah Islami, pernak-pernik, serta makanan ringan yang dititipkan ke kos-kos ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena sering berjualan majalah dan buku Islami secara berkeliling, Riyono dijuluki oleh teman-temannya sebagai “Perpustakaan Berjalan”.
Menjadi aktivis dan berdagang membuat Riyono tetap sadar akan tujuan utama ia datang jauh-jauh dari Magetan ke Semarang. Bagi Riyono, kuliah adalah amanah orang tua yang harus ia tunaikan. Dalam setiap aktivitas akademiknya, Riyono selalu menjaga ritme belajar agar Indeks Prestasi (IP) tidak turun dari 3,0. Dan hal itu berhasil ia lakukan. Sepanjang kuliah Riyono tidak pernah mendapatkan IP di bawah 3,0.
Perannya sebagai aktivis di kampus dan prestasi akademik yang cukup memuaskan membuat Riyono sering dilibatkan dalam proyek-proyek dosen. Baginya proyek-proyek yang sering dilakukan di pesisir pantura ini cukup membantu pemasukan finansial walaupun sedikit. Pernah pada semester lima Riyono diberi tugas proyek penelitian mengukur arah gelombang di Pantai Alam Indah Tegal oleh ketua jurusannya. Penelitian ia lakukan sendirian berada di tengah lautan dan tanpa ditemani oleh orang lain. Pada kesempatan lain, perahu yang Riyono tumpangi sempat terhantam ombak hingga terbalik. Ia hampir tenggelam waktu itu. Namun Allah swt masih menolongnya.
Selama mendapat proyek penelitian dari dosen, Riyono tinggal bersama nelayan di sekitar pantai utara. Dari sinilah ia mulai merasakan bahwa menjadi nelayan itu tidak mudah. Sepanjang penelitian itu Riyono berkesimpulan bahwa penghasilan yang dimiliki nelayan itu masih rendah. Apalagi ketika musim barat. Pada titik inilah timbul tekad dalam diri Riyono agar suatu saat ia mampu merubah nasib hidup nelayan.
Riyono akhirnya lulus pada tahun 2005 dengan predikat Sarjana Kelautan. Ia menghabiskan waktu empat belas semester kuliah. Secara mengejutkan Riyono diwisuda dalam kondisi sudah menikah dengan Birrul Abweni dan dikaruniai putra yang baru berumur satu minggu.
Berkenalan dengan PKS
Perkenalan awal Riyono dengan PKS diawali sejak pertama kali masuk perguruan tinggi. Pada waktu itu PKS masih bernama Partai Keadilan. Riyono awalnya diajak oleh kakak angkatan untuk mengikuti program pembinaan PKS yang bernama halaqah. Memang sejak awal sense of religius sudah ada dalam diri Riyono. Sehingga halaqah bagi Riyono adalah kenikmatan tersendiri. Seakan ia menemukkan sesuatu yang hilang dari dalam dirinya. Solidaritas yang dibangun antar anggota membuat Riyono semakin betah. Metode tarbiyah yang diajarkan membuat Riyono mendapat pencerahan tentang bagaimana menentukan arah hidup dan pedoman bagaimana ia harus bersikap dalam hidup. Bahkan karena tarbiyah, pada usia 25 tahun dan belum lulus Riyono berani memutuskan diri untuk menikah. Pada tanggal 26 Desember 2005 Riyono melangsungkan akad dengan Birrul Abweni, wanita pilihan hatinya.
Setelah mengikuti pembinaan intensif PKS cukup lama Riyono mulai dilibatkan dalama agenda–agenda dakwah di partai. Ia mulai dipercaya menjadi bagian dari Badan Pemenangan Pemilu DPW PKS Jateng. Riyono sempat membantu verifikasi berkas-berkas perpindahan PK ke PKS di Kudus pada tahun 2003. Ia juga dipercaya oleh struktur partai untuk maju menjadi calon anggota legislatif PKS periode 2004-2009, padahal waktu itu Riyono masih dalam proses skripsi. Hal ini membuat Riyono sempat tidak aktif di kampus dan menunda kelulusannya selama dua tahun.
Menjadi Pembela Petani dan Nelayan Indonesia
Jiwa Riyono sejak lama memang sudah terpanggil untuk membela kaum tani. Namun hal itu baru dapat terealisasikan ketika Riyono masih aktif sebagai ketua HMJ Kelautan. pada bulan September tahun 2003 Riyono mengikuti Kongres Masyarakat Pertanian Indonesia di IPB. Kongres yang diikuti oleh BEM seluruh Indonesia, pakar pertanian, akademisi, perwakilan kelompok tani, perwakilan dinas-dinas ini menunjuk Riyono menjadi ketua sidangnya. Kemudian pada tanggal 17 September 2003 Riyono bersama Baran Wirawan (sekretaris Menteri Pertanian 2009-2014), Dr. Sugeng Herususeno (Wakil Dekan FPIK IPB 2013) dan peserta kongres lainnya mendeklarasikan berdirinya Federasi Petani Nelayan Sejahtera Indonesia (FPNSI). FPNSI merupakan cikal bakal munculnya PPNSI. Selama di FPNSI Riyono turut membantu program pemerintah terkait pemberdayaan petani. Ia juga turut serta dalam pemberdayaan masyarakat di pesisir Jawa Tengah. Riyono juga diminta mendampingi pemberdayaan ternak beberapa kota di Jawa Tengah.
Namun perjalanan aktifitas FPNSI tidak berjalan mulus karena permasalahan administratif. Sehingga atas sikap yang cepat dari Riyono, Antoni dan tiga rekannya, dideklarasikanlah Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia di Jawa Tengah pada tanggal 19 Maret 2005. Riyono ditunjuk menjadi Ketua PPNSI Jawa Tengah.
Selama kepemimpinan Riyono, PPNSI sempat mendirikan pabrik sekala UMKM dengan bahan pengawet alternatif bernama Chitosan di Jepara sekitar 2007. Namun karena adanya ketimpangan teknologi Chitosan tercemar dengan zat besi, pabrik terpaksa tutup dan menelan kerugian sekitar 100 juta rupiah. Sikap pembelajar yang dimiliki Riyono membuat PPNSI dan seluruh struktur tidak patah arang.
Nama PPNSI mulai muncul di permukaan ketika Riyono dan kawan-kawan mengadvokasi usulan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo pada tahun 2008 yang ingin menghapus subsidi pupuk. Bagi Riyono, menghapus subsidi pupuk sama dengan membunuh petani. Akibat aksi keras PPNSI kepada pemerintah, Riyono dipanggil langsung oleh Bibit Waluyo. Namun sikap Riyono yang tegas itulah yang mungkin menjadi sebab subsidi pupuk tidak jadi dihapus.
Kini, pria yang berdomisili di Mijen, Semarang itu terpilih menjadi Anggota DPRD Provinsi untuk Dapil X (Kabupaten Batang, Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Pemalang). Melalui posisinya saat ini, Riyono diharapkan tetap berjuang bagi tani dan nelayan, khususnya di Jateng.
Selain kecintaannya kepada nelayan dan petani, Riyono juga dikenal sebagai pria yang religius. Kecintaannya kepada Islam serta semangat untuk menegakkan kalimat Allah di bumi Indonesia inilah yang memaksanya untuk turut aktif terjun di dunia dakwah melalui jalur politik. Ia kini aktif sebagai Ketua Bidang Buruh, Tani dan Nelayan Dewan Pengurus Wilayah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jawa Tengah. Selaras dengan minatnya di bidang pertanian dan buruh.
Dari Bercocok Tanam Hingga Pencak Silat
Riyono dilahirkan dari keluarga petani yang serba terbatas. Hal ini tidak menjadikan Riyono berputus asa. Pria bertubuh agak gemuk ini bahkan sangat bersyukur jika dilahirkan sebagai keluarga petani. Dari keluarga yang serba terbatas inilah ia dididik tentang pentingnya arti kedisiplinan dan kerja keras. Dari ayahnya ia belajar bahwa untuk mendapatkan hasil yang baik, maka harus diawali dengan usaha yang keras. Pernah pada tahun 1997 keinginan Riyono untuk masuk perguruan tinggi hampir ia urungkan karena keterbatasan biaya. Masuk perguruan tinggi di kala itu—apalagi di wilayah Magetan—masih dianggap sebagai suatu hal yang prestise. Namun berkat saran dan dorongan dari ayahnya, Riyono pun berinisiatif membiayai seluruh biaya pendaftaran kuliahnya dari menanam cabai. Tahap demi tahap pun dia jalani. Mulai dari mencangkul tanah, menyebar bibit, hingga merawatnya secara berkala. Dan hasilnya fantastis! Ia berhasil memanen cabai yang ia tanam sendiri dan hasil dari penjualan cabainya ia gunakan untuk biaya kuliah. Baginya ini merupakan kepuasan tingkat tinggi dan tidak ada duanya di muka bumi.
Kebiasaan disiplin dan kerja keras yang ditanamkan ayahnya sejak dini menjadikan Riyono tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter leader dan enterpreuner. Karakter sebagai leader sudah terlihat semenjak ia duduk di bangku sekolah. Semasa sekolah, Riyono senantiasa ditunjuk sebagai pemimpin bagi teman-temannya. Ketika SD dan SMP misalnya, selama sembilan tahun berturut–turut Riyono dipercaya oleh teman-temannya menjadi ketua kelas. Bahkan ketika SMA selain menjadi ketua kelas Riyono juga didaulat untuk memimpin organisasi sekelas OSIS.
Di tengah aktivitasnya menjadi siswa nomor satu di SMA-nya, tidak menjadikan Riyono malu berjualan jajanan kepada teman-temannya. Kebiasaan ini ternyata juga ia lanjutkan hingga kuliah. Mulai dari jualan keliling kelas, menitipkan jualannya ke kantin hingga menjadi kasir di koperasi sekolah karena dagangannya ia titipkan di sana. Semuanya dilakukan Riyono tanpa rasa malu. Bahkan menurutnya karena sering berjualan itulah ia menjadi siswa yang dikenal seluruh siswa di SMA-nya. Selain berjualan di sekolah, waktu pagi ia sempatkan untuk berjualan telur keliling kampung. Semua ini ia lakukan untuk membiayai sekolahnya. “Kalo saya gak jualan, saya gak bisa sekolah” begitu kata Riyono.
Riyono muda juga dikenal sebagai sosok yang selalu mempelopori ide-ide baru yang tidak difikirkan kebanyakkan orang waktu itu. Program sholat Dhuha rutin yang kini menjadi program keseharian wajib bagi siswa di SMA N 1 Kawedanan (tempat Riyono mengenyam bangku SMA) ternyata bermula dari gagasannya. Komunitas Pecinta Alam di SMA-nya yang masih eksis hingga kini juga berawal dari gagasannya.
Riyono juga pernah mendalami ilmu tenaga dalam. Ia sempat mengikuti padepokan pencak silat di desanya. Tak hanya menjadi murid, saat SMA Riyono ternyata mendirikan sendiri padepokan pencak silat yang ia namai Padepokan Pencak Silat Ronggojiwo, dan dia sendiri yang menjadi gurunya. Siapa sangka, padepokan yang baru berdiri itu diminati sekitar tigapuluh anak muda di kampungnya.
Memasuki Dunia Kampus
Setelah lulus SMA, Riyono lebih memilih melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Berbekal uang hasil panen cabai dan uang tambahan dari salah seorang guru SMA N 1 Kawedanan, berangkatlah Riyono mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru. Setelah perjuangan yang cukup melelahkan menghadapi sederetan soal ujian penerimaan, akhirnya pada tahun 1998 Riyono menjadi salah satu dari dua orang siswa di SMA nya yang lolos seleksi penerimaan mahasiswa baru di kampus biru, Universitas Diponegoro. Pilihan hatinya jatuh pada Fakultas Kelautan dan Perikanan. Hal ini membuat bangga orang tua serta pihak sekolah.
Perjalanan Riyono sampai ke jenjang perguruan tinggi serta menikmati kampus terfavorit di Jawa Tengah waktu itu bukan tanpa sebab. Bapak Jumiran, ayahnyalah yang senantiasa mendorong dan menyemangati Riyono beserta ketiga saudaranya untuk terus sekolah. Ayahnya tidak ingin anak-anaknya seperti dirinya yang hanya menjadi petani biasa. Bapak Jumiran dan Ibu Winarti ingin putra-puterinya kelak menjadi orang sukses yang bisa mengharumkan nama keluarga. Ada satu nasihat dari Pak Jumiran yang masih melekat di benak Riyono, “Nek kowe ora gelem sekolah mending kowe tak cekeli sapi, angon sapi wae” (Kalau kamu tidak ingin sekolah mending kamu tak bekali sapi, menggembala sapi saja). Walaupun kata-katanya sederhana, namun bagi Riyono nasehat itu menyiratkan pesan ketidakrelaan pak Jumiran jika anak-anaknya putus sekolah.
Di awal menjejakkan kaki di Fakultas Perikanan dan Kelautan UNDIP Riyono dikenal sebagai sosok mahasiswa baru yang kritis dan cenderung memberontak. OSPEK sebagai agenda rutin kampus ia tentang. Baginya OSPEK hanya sebagai sarana perploncoan tanpa ada esensi pendidikannya. Riyono memutuskan untuk tidak ikut OSPEK. Daripada ikut OSPEK mending nyari kegiatan lain yang lebih bermanfaat, katanya. Ketika teman-teman seangkatan digunduli kepalanya sebagai syarat kesertaan OSPEK, Riyono tampil beda dengan style rambut yang gondrong era anak kampung tahun ’98. Sikap Riyono ini berakibat ia harus berhadapan dengan para senior kampus. Di hadapan para senior Riyono diancam habis-habisan. Dia harus menerima boikot dari para senior tidak diaktifkan di beberapa kegiatan kemahasiswaan. Bahkan dia sempat diancam tidak akan diakui sebagai bagian dari angkatan ’98. Namun Riyono bergeming. bahkan dengan lantang dia mengatakan “Tidak masalah. Silahkan Anda memboikot saya, saya bisa buktikan bahwa saya bisa berkarya.”
Tempaan mental selama Riyono hidup di Magetan ternyata ada gunanya. Riyono tumbuh menjadi pribadi yang pemberani. Tantangan Riyono pada kakak seniornya di awal masuk kampus ia buktikan dua tahun kemudian. Di tengah perilaku pengucilan oleh seniornya pada awal tahun 2001, Riyono mencalonkan diri dalam bursa pemilihan Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Kelautan. Barangkali orang mengira anak kampung yang di boikot karena melawan kakak senior bakal keok. Namun siapa sangka, panitia mengumumkan memenangkan Riyono pada pemilihan dan didaulat menjadi Ketua HMJ Kelautan. Hal ini sontak membuat terkejut senior-senior di Jurusan Kelautan. Belum sempat berakhir kekagetan para senior, beberapa bulan kemudian Riyono menolak diadakannya OSPEK ketika penerimaan mahasiswa baru. Sehingga OSPEK pada masa Riyono memimpin pun ditiadakan.
Riyono semakin tumbuh menjadi pribadi yang tegas, pemberani namun tetap santun. Ia menjadi sosok yang kuat memegang prinsip. Pribadi yang terus berkembang semacam ini menjadikan Riyono pada tahun 2002 dilantik menjadi Koordinator Konggres Mahasiswa (KM) UNDIP, semacam lembaga legislatif di tingkat mahasiswa. Anggota DPRD Jawa Tengah 2009–2014 Hadi Santoso yang waktu itu satu kampus dengan Riyono, ternyata ketika menjabat sebagai Presiden BEM UNDIP, dilantik oleh Riyono.
Karir aktivis mahasiswa Riyono tidak berhenti sampai disini. Berbagai macam aktivitas dan kesibukkan Riyono tidak melunturkan gelora idealisme mahasiswa pada masa itu. Bahkan karakter inovatifnya tetap melekat pada diri Riyono. Buktinya Riyono bersama Hadi Santoso, Antoni dan beberapa rekan lainnya mempelopori berdirinya organisasi ekstra kampus Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Komisariat UNDIP. KAMMI adalah salah satu organisasi mahasiswa ekstra kampus yang mempelopori reformasi 1998. Pada waktu itu KAMMI dikenal sebagai salah satu gerakan yang kritis dengan aksi demonstrasi damai walau jumlah massa yang ikut ratusan orang. Keaktifan di KAMMI membuat Riyono ditunjuk menjadi Ketua Departemen Kajian Strategis (Kastrat) KAMMI Daerah Semarang pasca aktif menjadi koordinator KM UNDIP.
Pada masa itu (1998-2004) gerakan mahasiswa masih bercorak sebagai gerakan ekstraparlementer semata. Aksi-aksi jalanan dan diskusi gerakan yang bersifat taktis lebih mendominasi. Sehingga semboyan anak-anak KAMMI yang terkenal waktu itu “Aspal Mana di Semarang yang Belum Saya Lewati” sangat melekat di setiap kader KAMMI waktu itu. Demonstrasi mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat menjadi agenda keseharian Riyono waktu itu. Karena demonstrasi inilah Riyono sudah biasa keluar masuk kantor polisi untuk diinterogasi dan diperiksa. Pernah karena sangat takutnya diinterogasi, Riyono membuang kartu identitas dirinya di toilet agar tidak terlacak.
Tetap Berdagang Tetap Berprestasi
Seabrek aktivitas kemahasiswaan yang Riyono alami ternyata tidak membuat ia lupa akan statusnya sebagai mahasiswa. Ia harus tetap kuliah dan memenuhi kebutuhan kuliah dengan biaya sendiri. Untuk menghemat pengeluaran, Riyono menahan diri untuk tidak tinggal di kos-kosan seperti teman-temannya yang lain. Ia lebih memilih menjadi takmir masjid. Berpindah dari masjid ke masjid. Kebiasaan berdagang ketika masa sekolah masih ia bawa di kampus. Di sela-sela aktivitas baik sebagai ketua HMJ, Koordinator KM Undip, atau aktivitas lainnya, ia manfaatkan untuk berdagang. Berjualan majalah Islami, pernak-pernik, serta makanan ringan yang dititipkan ke kos-kos ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena sering berjualan majalah dan buku Islami secara berkeliling, Riyono dijuluki oleh teman-temannya sebagai “Perpustakaan Berjalan”.
Menjadi aktivis dan berdagang membuat Riyono tetap sadar akan tujuan utama ia datang jauh-jauh dari Magetan ke Semarang. Bagi Riyono, kuliah adalah amanah orang tua yang harus ia tunaikan. Dalam setiap aktivitas akademiknya, Riyono selalu menjaga ritme belajar agar Indeks Prestasi (IP) tidak turun dari 3,0. Dan hal itu berhasil ia lakukan. Sepanjang kuliah Riyono tidak pernah mendapatkan IP di bawah 3,0.
Perannya sebagai aktivis di kampus dan prestasi akademik yang cukup memuaskan membuat Riyono sering dilibatkan dalam proyek-proyek dosen. Baginya proyek-proyek yang sering dilakukan di pesisir pantura ini cukup membantu pemasukan finansial walaupun sedikit. Pernah pada semester lima Riyono diberi tugas proyek penelitian mengukur arah gelombang di Pantai Alam Indah Tegal oleh ketua jurusannya. Penelitian ia lakukan sendirian berada di tengah lautan dan tanpa ditemani oleh orang lain. Pada kesempatan lain, perahu yang Riyono tumpangi sempat terhantam ombak hingga terbalik. Ia hampir tenggelam waktu itu. Namun Allah swt masih menolongnya.
Selama mendapat proyek penelitian dari dosen, Riyono tinggal bersama nelayan di sekitar pantai utara. Dari sinilah ia mulai merasakan bahwa menjadi nelayan itu tidak mudah. Sepanjang penelitian itu Riyono berkesimpulan bahwa penghasilan yang dimiliki nelayan itu masih rendah. Apalagi ketika musim barat. Pada titik inilah timbul tekad dalam diri Riyono agar suatu saat ia mampu merubah nasib hidup nelayan.
Riyono akhirnya lulus pada tahun 2005 dengan predikat Sarjana Kelautan. Ia menghabiskan waktu empat belas semester kuliah. Secara mengejutkan Riyono diwisuda dalam kondisi sudah menikah dengan Birrul Abweni dan dikaruniai putra yang baru berumur satu minggu.
Berkenalan dengan PKS
Perkenalan awal Riyono dengan PKS diawali sejak pertama kali masuk perguruan tinggi. Pada waktu itu PKS masih bernama Partai Keadilan. Riyono awalnya diajak oleh kakak angkatan untuk mengikuti program pembinaan PKS yang bernama halaqah. Memang sejak awal sense of religius sudah ada dalam diri Riyono. Sehingga halaqah bagi Riyono adalah kenikmatan tersendiri. Seakan ia menemukkan sesuatu yang hilang dari dalam dirinya. Solidaritas yang dibangun antar anggota membuat Riyono semakin betah. Metode tarbiyah yang diajarkan membuat Riyono mendapat pencerahan tentang bagaimana menentukan arah hidup dan pedoman bagaimana ia harus bersikap dalam hidup. Bahkan karena tarbiyah, pada usia 25 tahun dan belum lulus Riyono berani memutuskan diri untuk menikah. Pada tanggal 26 Desember 2005 Riyono melangsungkan akad dengan Birrul Abweni, wanita pilihan hatinya.
Setelah mengikuti pembinaan intensif PKS cukup lama Riyono mulai dilibatkan dalama agenda–agenda dakwah di partai. Ia mulai dipercaya menjadi bagian dari Badan Pemenangan Pemilu DPW PKS Jateng. Riyono sempat membantu verifikasi berkas-berkas perpindahan PK ke PKS di Kudus pada tahun 2003. Ia juga dipercaya oleh struktur partai untuk maju menjadi calon anggota legislatif PKS periode 2004-2009, padahal waktu itu Riyono masih dalam proses skripsi. Hal ini membuat Riyono sempat tidak aktif di kampus dan menunda kelulusannya selama dua tahun.
Menjadi Pembela Petani dan Nelayan Indonesia
Jiwa Riyono sejak lama memang sudah terpanggil untuk membela kaum tani. Namun hal itu baru dapat terealisasikan ketika Riyono masih aktif sebagai ketua HMJ Kelautan. pada bulan September tahun 2003 Riyono mengikuti Kongres Masyarakat Pertanian Indonesia di IPB. Kongres yang diikuti oleh BEM seluruh Indonesia, pakar pertanian, akademisi, perwakilan kelompok tani, perwakilan dinas-dinas ini menunjuk Riyono menjadi ketua sidangnya. Kemudian pada tanggal 17 September 2003 Riyono bersama Baran Wirawan (sekretaris Menteri Pertanian 2009-2014), Dr. Sugeng Herususeno (Wakil Dekan FPIK IPB 2013) dan peserta kongres lainnya mendeklarasikan berdirinya Federasi Petani Nelayan Sejahtera Indonesia (FPNSI). FPNSI merupakan cikal bakal munculnya PPNSI. Selama di FPNSI Riyono turut membantu program pemerintah terkait pemberdayaan petani. Ia juga turut serta dalam pemberdayaan masyarakat di pesisir Jawa Tengah. Riyono juga diminta mendampingi pemberdayaan ternak beberapa kota di Jawa Tengah.
Namun perjalanan aktifitas FPNSI tidak berjalan mulus karena permasalahan administratif. Sehingga atas sikap yang cepat dari Riyono, Antoni dan tiga rekannya, dideklarasikanlah Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia di Jawa Tengah pada tanggal 19 Maret 2005. Riyono ditunjuk menjadi Ketua PPNSI Jawa Tengah.
Selama kepemimpinan Riyono, PPNSI sempat mendirikan pabrik sekala UMKM dengan bahan pengawet alternatif bernama Chitosan di Jepara sekitar 2007. Namun karena adanya ketimpangan teknologi Chitosan tercemar dengan zat besi, pabrik terpaksa tutup dan menelan kerugian sekitar 100 juta rupiah. Sikap pembelajar yang dimiliki Riyono membuat PPNSI dan seluruh struktur tidak patah arang.
Nama PPNSI mulai muncul di permukaan ketika Riyono dan kawan-kawan mengadvokasi usulan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo pada tahun 2008 yang ingin menghapus subsidi pupuk. Bagi Riyono, menghapus subsidi pupuk sama dengan membunuh petani. Akibat aksi keras PPNSI kepada pemerintah, Riyono dipanggil langsung oleh Bibit Waluyo. Namun sikap Riyono yang tegas itulah yang mungkin menjadi sebab subsidi pupuk tidak jadi dihapus.
Kini, pria yang berdomisili di Mijen, Semarang itu terpilih menjadi Anggota DPRD Provinsi untuk Dapil X (Kabupaten Batang, Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Pemalang). Melalui posisinya saat ini, Riyono diharapkan tetap berjuang bagi tani dan nelayan, khususnya di Jateng.
Sumber : pkscibitung.wordpress.com
Tidak ada komentar