Lobster,
kepiting, dan rajungan bertelur kini tidak boleh ditangkap. Penangkapan
ketiga spesies laut itu harus memenuhi kriteria ukuran tertentu.
Andai ditanya soal makanan laut yang paling digemari dan disantap di restoran restoran terkenal, para pecinta seafood tentu akan menjawab lobster, kepiting, dan rajungan. Sayangnya, kini penangkapan ketiga spesies laut itu dibatasi.
Pembatasan penangkapan hewan laut yang bernilai ekonomi tinggi itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perikanan dan Kelautan No 1/2015 tentang Penangkapan Lobster, Kepiting, dan Rajungan. Tujuannya ialah sebagai upaya menjaga kelestarian populasi ketiga komoditas ekspor itu.
“Data Balitbang KKP (Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan) menunjukkan penangkapan sudah cukup berlebih jika dibandingkan dengan daya tampung tiap spesies itu. Kita mencoba mengatur mana saja yang bisa ditangkap dan tidak,” ujar Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Gellwyn Yusuf saat konferensi pers di Jakarta, kemarin.
Dalam peraturannya, lanjut dia, pemerintah melarang penangkapan lobster, kepiting, dan rajungan dalam keadaan bertelur. Ketiga hewan laut berkolesterol tinggi itu boleh ditangkap dengan kriteria ukuran tertentu (lihat grafik).
Pada kesempatan yang sama, Kepala Balitbang KKP Ahmad Purnomo menerangkan alasan mendasar pengaturan penangkapan lobster, kepiting, dan rajungan itu. Selain menjaga kelestarian populasi, aturan tersebut dapat menjaga nilai ekonomi kelautan secara berkelanjutan.
Ia mencontohkan, sesuai dengan hasil penelitian, produksi alamiah lobster sebesar 7.790 ton per tahun, sedangkan konsumsinya pada 2013 mencapai 16.482 ton.
“Begitu juga dengan konsumsi kepiting 33.227 ton dan rajungan 52.369 ton. Nilai potensi alamiahnya masih kita hitung. Namun, melihat tangkapan rajungan kian ke sini semakin berukuran kecil, itu artinya belum waktunya ditangkap tapi sudah ditangkap. Ini kan sudah mengambil stok berlebihan,” ujar Ahmad.
Butuh sosialisasi
Kebijakan larangan penangkapan lobster, kepiting, dan rajungan secara berlebihan ini ditanggapi positif. Namun, pemerintah disarankan untuk memberikan masa transisi bagi nelayan agar tidak mengalami kerugian.
“Dalam praktiknya (aturan) ini tidak mudah. Diperlukan penyuluhan ataupun sosialisasi agar nelayan tidak mengalami kerugian dengan hasil tangkapan yang harus dilepas lagi karena tidak mengetahui adanya aturan itu,” ujar Sekretaris Jenderal Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia (PPNSI) Riyono Abdullah saat dihubungi Media Indonesia melalui telepon, kemarin.
Menurutnya, nelayan akan mengalami kesulitan untuk memilih mana yang bertelur, mana yang tidak ketika melaut. Apabila kepiting, lobster, dan rajungan yang sudah ditangkap dilepaskan lagi, para nelayan tentu akan merugi. Harga kepiting itu punya nilai bagus. Seekor kepiting bertelur dihargai di atas Rp. 200 ribu.
Senada, Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Riza Damanik menambahkan aturan itu harus tetap memperhatikan proses penegakan hukumnya.
Selain itu, peraturan tersebut harus dapat meningkatkan nilai tambah bahwa akan terjadi pengurangan tekanan terhadap sumber daya alam sehingga terjadi pemulihan produksi dan memberikan implikasi tingginya nilai tambah produk perikanan.
“Nilai ekonomi tetap naik bukan karena jumlah tangkapan tinggi, melainkan nilai tambah produk perikanan karena ada hilirisasi,” tuturnya.
Andai ditanya soal makanan laut yang paling digemari dan disantap di restoran restoran terkenal, para pecinta seafood tentu akan menjawab lobster, kepiting, dan rajungan. Sayangnya, kini penangkapan ketiga spesies laut itu dibatasi.
Pembatasan penangkapan hewan laut yang bernilai ekonomi tinggi itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perikanan dan Kelautan No 1/2015 tentang Penangkapan Lobster, Kepiting, dan Rajungan. Tujuannya ialah sebagai upaya menjaga kelestarian populasi ketiga komoditas ekspor itu.
“Data Balitbang KKP (Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan) menunjukkan penangkapan sudah cukup berlebih jika dibandingkan dengan daya tampung tiap spesies itu. Kita mencoba mengatur mana saja yang bisa ditangkap dan tidak,” ujar Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Gellwyn Yusuf saat konferensi pers di Jakarta, kemarin.
Dalam peraturannya, lanjut dia, pemerintah melarang penangkapan lobster, kepiting, dan rajungan dalam keadaan bertelur. Ketiga hewan laut berkolesterol tinggi itu boleh ditangkap dengan kriteria ukuran tertentu (lihat grafik).
Pada kesempatan yang sama, Kepala Balitbang KKP Ahmad Purnomo menerangkan alasan mendasar pengaturan penangkapan lobster, kepiting, dan rajungan itu. Selain menjaga kelestarian populasi, aturan tersebut dapat menjaga nilai ekonomi kelautan secara berkelanjutan.
Ia mencontohkan, sesuai dengan hasil penelitian, produksi alamiah lobster sebesar 7.790 ton per tahun, sedangkan konsumsinya pada 2013 mencapai 16.482 ton.
“Begitu juga dengan konsumsi kepiting 33.227 ton dan rajungan 52.369 ton. Nilai potensi alamiahnya masih kita hitung. Namun, melihat tangkapan rajungan kian ke sini semakin berukuran kecil, itu artinya belum waktunya ditangkap tapi sudah ditangkap. Ini kan sudah mengambil stok berlebihan,” ujar Ahmad.
Butuh sosialisasi
Kebijakan larangan penangkapan lobster, kepiting, dan rajungan secara berlebihan ini ditanggapi positif. Namun, pemerintah disarankan untuk memberikan masa transisi bagi nelayan agar tidak mengalami kerugian.
“Dalam praktiknya (aturan) ini tidak mudah. Diperlukan penyuluhan ataupun sosialisasi agar nelayan tidak mengalami kerugian dengan hasil tangkapan yang harus dilepas lagi karena tidak mengetahui adanya aturan itu,” ujar Sekretaris Jenderal Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia (PPNSI) Riyono Abdullah saat dihubungi Media Indonesia melalui telepon, kemarin.
Menurutnya, nelayan akan mengalami kesulitan untuk memilih mana yang bertelur, mana yang tidak ketika melaut. Apabila kepiting, lobster, dan rajungan yang sudah ditangkap dilepaskan lagi, para nelayan tentu akan merugi. Harga kepiting itu punya nilai bagus. Seekor kepiting bertelur dihargai di atas Rp. 200 ribu.
Senada, Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Riza Damanik menambahkan aturan itu harus tetap memperhatikan proses penegakan hukumnya.
Selain itu, peraturan tersebut harus dapat meningkatkan nilai tambah bahwa akan terjadi pengurangan tekanan terhadap sumber daya alam sehingga terjadi pemulihan produksi dan memberikan implikasi tingginya nilai tambah produk perikanan.
“Nilai ekonomi tetap naik bukan karena jumlah tangkapan tinggi, melainkan nilai tambah produk perikanan karena ada hilirisasi,” tuturnya.
Sumber : www.transformasi.org
Tidak ada komentar