Peraturan Menteri Susi mengenai pelarangan alat tangkap cantrang mulai dibahas di tingkat legislatif dan eksekutif provinsi Jawa Tengah. Hal ini disampaikan Lalu Muhammad Syafriadi selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Jateng, Selasa (21/04).
“Setelah kemarin rangkaian panjang, masukan, diskusi, rapat dengan komisi B salah satu rekomendasi yang kita berikan adalah untuk meninjau permen nomor 2 tahun 2015,” ujarnya di lantai 2 gedung DPRD Jateng.
Pada 26 maret 2015, Menteri Perikanan dan Kelautan Susi mengirim surat kepada Gubernur Jawa Tengah terkait status penggunaan alat-alat tangkap cantrang. Susi menyatakan, cantrang masih dapat digunakan di Jateng itu asalkan dengan syarat dibawah 12 mil dari tepi pantai.
“Walaupun kita ada catatan dibawah 12 mil kondisinya agak krodit dan rawan konflik antar nelayan di pantura. Karena ini sudah ada, kemarin konflik antara nelayan batang dengan nelayan kendal yang ada di wilayah 12 mil, padahal sudah diijinkan cantrang dibawah 12 mil,” terang Syafriadi.
Ia menjelaskan bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan Pusat belum membuat regulasi yang mengatur penggunaan cantrang selama masa transisi. Terkait Dinas Kelautan dan Perikanan yang beberapa waktu lalu sempat tidak berani mengeluarkan Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI), saat ini pihaknya sudah bisa kembali melayani. “Kami mendorong sekitar 222 SIPI yang sudah masa berlakunya sudah bisa diperpanjang.”
Untuk meredam isu yang beredar tentang bahaya cantrang, pihaknya akan mengadakan uji petik guna membuktian apakah alat cantrang ramah lingkungan atau tidak. Uji petik akan dilakukan di pelabuhan besar wilayah Rembang, Pati, Tegal dan Batang. “Kita akan ambil titik minimal dua yakni di Rembang dan Tegal,” ujar peraih gelar Insiyur tersebut.
Syafriadi juga akan melibatkan berbagai kalangan, mulai dari akademisi, stakeholder terkait termasuk Kementerian Perikanan dan Kelautan Pusat untuk bersama-sama menselaraskan kajian yang ada melalui uji petik nantinya. Pelaksanaan uji petik pada tanggal 19-20 Mei di Rembang dan 26-27 Mei 2015 di Tegal. “Mudah-mudahan lewat uji petik ini dapat membuktikan kalau cantrang itu ramah lingkungan. Begitu pula sebaliknya.”
Jika setelah diadakannya uji petik terjadi perubahan alat tangkap yakni tidak boleh menggunakan cantrang, maka pihaknya meminta toleransi waktu. Maklum saja, harga alat cantrang beserta mesin adalah sekitar Rp. 1 milliar. Sementara itu harga untuk alat tangkap pursein yang mana diperbolehkan aturan, mencapai 5-6 milliar. Belum lagi tingkat kepemilikan pursein di Indonesia terbilang tinggi yakni 1.600 kapal yang 50% ada di Jawa Tengah. Sedangkan kuota nasional hanya 1.000 kapal.
“Kalau kondisi seperti ini tiba-tiba mereka minta berubah (memakai prusein) siapa yang menyediakan uangnya? Sampai sekarang tidak ada yang bisa jawab,” tandas dia.
“Ini yang menurut saya menjadi hal penting bahwa Jateng kita berharap menjadi pelopor untuk memberikan masukan orientasi kebijakan di pusat, baik yang pro maupun kontra dengan cantrang,” tambahnya.
Riyono yang juga sekretaris fraksi PKS melihat kondisi nelayan di pantura Jateng perlu lebih diperhatikan terkait masalah cantrang.
Riyono yang juga sekretaris fraksi PKS melihat kondisi nelayan di pantura Jateng perlu lebih diperhatikan terkait masalah cantrang.
Riyono S.Kel., dari Komisi E DPRD Jateng juga memberikan keterangan terkait hasil pembahasan alat cantrang. Ia menjelaskan di Jawa Tengah 33 perusahaan yang menggantungkan produksi dari hasil alat tangkap cantrang. Rata-rata perusahaan tersebut menghasilkan 150 ton bahan baku bubur ikan.
“Pada kenyataanya, saat ini nelayan masih melaut dengan menggunakan cantrang. Tapi ya ditengah laut kalau ketemu operasi ya tidak mau ditangkap,” ujar politisi PKS ini
Walaupun penggunaan cantrang diperbolehkan dibawah 12 mil, secara praktek kapal-kapak berukuram antara 30-100 GT tetap beroperasi hingga 60 mil lebih. “Sampe arah Kalimantan, Arafura, Natuna, itu kan kebanyakan nelayan Jawa Tengah,” terangnya.
“Setelah kemarin rangkaian panjang, masukan, diskusi, rapat dengan komisi B salah satu rekomendasi yang kita berikan adalah untuk meninjau permen nomor 2 tahun 2015,” ujarnya di lantai 2 gedung DPRD Jateng.
Pada 26 maret 2015, Menteri Perikanan dan Kelautan Susi mengirim surat kepada Gubernur Jawa Tengah terkait status penggunaan alat-alat tangkap cantrang. Susi menyatakan, cantrang masih dapat digunakan di Jateng itu asalkan dengan syarat dibawah 12 mil dari tepi pantai.
“Walaupun kita ada catatan dibawah 12 mil kondisinya agak krodit dan rawan konflik antar nelayan di pantura. Karena ini sudah ada, kemarin konflik antara nelayan batang dengan nelayan kendal yang ada di wilayah 12 mil, padahal sudah diijinkan cantrang dibawah 12 mil,” terang Syafriadi.
Ia menjelaskan bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan Pusat belum membuat regulasi yang mengatur penggunaan cantrang selama masa transisi. Terkait Dinas Kelautan dan Perikanan yang beberapa waktu lalu sempat tidak berani mengeluarkan Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI), saat ini pihaknya sudah bisa kembali melayani. “Kami mendorong sekitar 222 SIPI yang sudah masa berlakunya sudah bisa diperpanjang.”
Untuk meredam isu yang beredar tentang bahaya cantrang, pihaknya akan mengadakan uji petik guna membuktian apakah alat cantrang ramah lingkungan atau tidak. Uji petik akan dilakukan di pelabuhan besar wilayah Rembang, Pati, Tegal dan Batang. “Kita akan ambil titik minimal dua yakni di Rembang dan Tegal,” ujar peraih gelar Insiyur tersebut.
Syafriadi juga akan melibatkan berbagai kalangan, mulai dari akademisi, stakeholder terkait termasuk Kementerian Perikanan dan Kelautan Pusat untuk bersama-sama menselaraskan kajian yang ada melalui uji petik nantinya. Pelaksanaan uji petik pada tanggal 19-20 Mei di Rembang dan 26-27 Mei 2015 di Tegal. “Mudah-mudahan lewat uji petik ini dapat membuktikan kalau cantrang itu ramah lingkungan. Begitu pula sebaliknya.”
Jika setelah diadakannya uji petik terjadi perubahan alat tangkap yakni tidak boleh menggunakan cantrang, maka pihaknya meminta toleransi waktu. Maklum saja, harga alat cantrang beserta mesin adalah sekitar Rp. 1 milliar. Sementara itu harga untuk alat tangkap pursein yang mana diperbolehkan aturan, mencapai 5-6 milliar. Belum lagi tingkat kepemilikan pursein di Indonesia terbilang tinggi yakni 1.600 kapal yang 50% ada di Jawa Tengah. Sedangkan kuota nasional hanya 1.000 kapal.
“Kalau kondisi seperti ini tiba-tiba mereka minta berubah (memakai prusein) siapa yang menyediakan uangnya? Sampai sekarang tidak ada yang bisa jawab,” tandas dia.
“Ini yang menurut saya menjadi hal penting bahwa Jateng kita berharap menjadi pelopor untuk memberikan masukan orientasi kebijakan di pusat, baik yang pro maupun kontra dengan cantrang,” tambahnya.
Riyono yang juga sekretaris fraksi PKS melihat kondisi nelayan di pantura Jateng perlu lebih diperhatikan terkait masalah cantrang.
Riyono yang juga sekretaris fraksi PKS melihat kondisi nelayan di pantura Jateng perlu lebih diperhatikan terkait masalah cantrang.
Riyono S.Kel., dari Komisi E DPRD Jateng juga memberikan keterangan terkait hasil pembahasan alat cantrang. Ia menjelaskan di Jawa Tengah 33 perusahaan yang menggantungkan produksi dari hasil alat tangkap cantrang. Rata-rata perusahaan tersebut menghasilkan 150 ton bahan baku bubur ikan.
“Pada kenyataanya, saat ini nelayan masih melaut dengan menggunakan cantrang. Tapi ya ditengah laut kalau ketemu operasi ya tidak mau ditangkap,” ujar politisi PKS ini
Walaupun penggunaan cantrang diperbolehkan dibawah 12 mil, secara praktek kapal-kapak berukuram antara 30-100 GT tetap beroperasi hingga 60 mil lebih. “Sampe arah Kalimantan, Arafura, Natuna, itu kan kebanyakan nelayan Jawa Tengah,” terangnya.
Sumber : obsessionnews.com
Tidak ada komentar