Anggota Komisi B DPRD Jateng Riono Abdullah menegaskan, kebijakan lokal dari pemerintah daerah (Pemda) untuk melindungi nasib nelayan mutlak diperlukan, jika daerah ingin menyukseskan program Presiden Joko Widodo (Jokowi) nawa cita Indonesia poros maritim.Riyono Abdullah menegaskan hal ini kepada wartawan di Semarang, Senin (25/04/2016).
Secara kualitas menurut Riono, nelayan di Indonesia memiliki keunggulan tersendiri. Saat melaut nelayan Indonesia tidak hanya berlayar 10 mil, tetapi bisa sampai ratusan mil. Sedemikian hebatnya para nelayan di Indonesia, sehingga perlu ada kebijakan lokal yang bisa melindungi para nelayan.
“Saat ini, sistem pembangunan kelautan nasional kita masih jauh dari harapan. Negara kita merupakan negara maritim sesuai amanat perjanjian juanda. Namun sampai hari ini, pembahasan pembangunan kelautan nasional belum ada. Kita masih kalah dengan negara lain yang bukan Negara maritim,” tutur Riono.
Seharusnya menurut Riono, dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 15 tahun 2011 yang tujuannya untuk membantu nelayan agar bisa sejahtera, pemerintah bisa membantu memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada nelayan. Inpres seharusnya sudah bisa membuat sejahtera. Namun harapan tersebut belum terjadi hingga sekarang karena daerah belum ada Perdanya.
Menurutnya, dengan kebijakan lokal dalam bentuk peraturan daerah (Perda) perlindungan nelayan, kehidupoan nelayan dan keluarganya bisa terlindungi. Satu hal yang menjadi kekhawatiran selain persoalan kesejahteraan, adalah tidak adanya proses regenerasi nelayan. Ke depan jumlah nelayan di Indonesia akan semakin berkurang.
“Negara sebenarnya mau memberikan perhatian kepada nelayan, tetapi kalau tidak ada aturannya (Perda) ya pemerintah tidak berani ngasih. Dengan demikian jika sampai terjadi nelayan hilang dan tidak ketemu siapa yang tanggung jawab, dan peran negara dimana? Paling santunan kematian, itupun tidak seberapa,” tegas Riyono yang juga selaku Sekretaris FPKS DPRD Jateng.
Secara kualitas menurut Riono, nelayan di Indonesia memiliki keunggulan tersendiri. Saat melaut nelayan Indonesia tidak hanya berlayar 10 mil, tetapi bisa sampai ratusan mil. Sedemikian hebatnya para nelayan di Indonesia, sehingga perlu ada kebijakan lokal yang bisa melindungi para nelayan.
“Saat ini, sistem pembangunan kelautan nasional kita masih jauh dari harapan. Negara kita merupakan negara maritim sesuai amanat perjanjian juanda. Namun sampai hari ini, pembahasan pembangunan kelautan nasional belum ada. Kita masih kalah dengan negara lain yang bukan Negara maritim,” tutur Riono.
Seharusnya menurut Riono, dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 15 tahun 2011 yang tujuannya untuk membantu nelayan agar bisa sejahtera, pemerintah bisa membantu memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada nelayan. Inpres seharusnya sudah bisa membuat sejahtera. Namun harapan tersebut belum terjadi hingga sekarang karena daerah belum ada Perdanya.
Menurutnya, dengan kebijakan lokal dalam bentuk peraturan daerah (Perda) perlindungan nelayan, kehidupoan nelayan dan keluarganya bisa terlindungi. Satu hal yang menjadi kekhawatiran selain persoalan kesejahteraan, adalah tidak adanya proses regenerasi nelayan. Ke depan jumlah nelayan di Indonesia akan semakin berkurang.
“Negara sebenarnya mau memberikan perhatian kepada nelayan, tetapi kalau tidak ada aturannya (Perda) ya pemerintah tidak berani ngasih. Dengan demikian jika sampai terjadi nelayan hilang dan tidak ketemu siapa yang tanggung jawab, dan peran negara dimana? Paling santunan kematian, itupun tidak seberapa,” tegas Riyono yang juga selaku Sekretaris FPKS DPRD Jateng.
Dengan berbagai problem yang dihadapi nelayan tersebut, Riyono bertekad untuk mengawal proses lahirnya Perda nelayan di Jateng untuk melindungi dan menyejahterakan nelayan.
Senada dengan Riyono, pakar kelautan dari Universitas Stikubank (Unisbank) Semarang, Karman mengatakan, saat salah satu kendala Indonesia mencapai poros maritim terletak pada kesejahteraan nelayan. Menurutnya, ada tumpang tindih antara satu regulasi dengan regulasi yang lain.
“Definisi nelayan kecil aja beda. Ada yang bilang yang kapal di bawah 10 GT ada yang menyatakan 15 GT. Hal itu berimbas pada pembiayaan. Termasuk adanya perbedaan kebijakan di tingkat Kabupaten/Kota,” tutur Karman.
Sumber :nkrjogja.com
Tidak ada komentar